Senin, 05 Januari 2015
Episode 2
Aku berbaring di atas ranjang yang tidak begitu besar, tapi lumayan untuk dua orang, sayangnya aku anak cowok satu-satunya, jadi kalau tidur hanya sendirian. Bukan berarti aku anak tunggal, karena aku punya kakak perempuan, yang sekarang bekerja di Jakarta, seorang calon diplomat, sesuai keinginan papa. Papa dan mama pasti sudah berangkat kerja, tanpa teman, rumah ini jadi begitu sepi. Perlahan kucoba membuka mata. Huft, kelihatannya mataku masih ingin tertutup, menyelami sedikit demi sedikit kenangan masa kecilku.
Namaku Ricko
Aprilliando. Teman-teman biasa memanggilku Ricko, ada juga yang memanggil Ando
seperti merek sandal saja, asal jangan dipanggil Aprilia, nanti kesannya jenis
kelaminku absurd, (di fakultas hukum kata-kata absurd umum banget, biasa dipake
buat menanggapi eksepsi di persidangan alih-alih jenis kelamin wkwkwkwkwk)
Ayahku seorang
jaksa di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, sedangkan Ibuku seorang guru di SMA
Negeri 2, SMA favorit di sini. Tapi aku nggak sekolah di tempat itu, aku sekolah
di sebuah sekolah asrama di salah satu Kota di Jawa Tengah. Di sanalah kisah
ini bermula. Aku masih ingat masa itu, 7 tahun lalu, ketika umurku masih 12
tahun. Papa yang mengantarku.
“Ricko
Apriliando... Nomor Induk 2509, Bandar Lampung, 1B” ketika namaku dipanggil
oleh guru berambut cepak. Seorang pria yang masih muda, umurnya sekitar tiga
puluh tahunan. Belakangan aku baru tau kalau namanya Pak Romi, orang yang
lumayan galak. Aslinya dari Pacitan, hemmm ternyata orang Pacitan ada juga yang
galak.
Aku berdiri dan
masuk dalam barisan yang sudah ditentukan oleh panitia penerimaan siswa baru.
Tapi ada yang tidak biasa, yaitu bunyi “wuiiiiiiiiiiiiiissssssss” ketika aku
berjalan menuju barisanku, padahal puluhan siswa yang dipanggil sebelumnya
tidak mendapat sambutan itu, aneh.
Ternyata suara itu
berasal dari gerombolan siswa SMA, siswa senior yang berdiri tidak terlalu
jauh. Mereka tidak ikut pembagian kelas, hanya menonton saja, mungkin bagi
siswa-siswa senior pembagian kelas siswa baru adalah tontonan menarik, aku tak
tahu. Yang pasti bunyi “wuiiiiiiiiiiiiiissssssss” tadi tidak jelas apa
maksudnya. Ejekan atau pujian? mungkin juga ada yang salah dengan pakaian yang
aku kenakan? Entahlah. Tapi tahun-tahun selanjutnya aku baru paham maksudnya
dan menjadi kenangan lucu, sebuah kesan pertama yang aku rasakan di Sekolah
saat pembagian kelas.
Tridarma Boarding
School adalah nama sekolah berasrama ini. Sebuah sekolah yang memiliki
pendidikan pada jenjang SMP dan SMA secara berkelanjutan. Jadi semua siswa SMA
di tempat ini adalah lulusan SMP ini juga. Bisa dikatakan pendidikan SMP dan
SMA nya menyatu dalam satu kesatuan.
Sekolah ini bukan
sekolah untuk agama dan golongan tertentu, semua golongan ada, ada anak petani,
anak pedagang, anak buruh, anak pejabat rendah dan tinggi, bahkan konon menurut
salah seorang yang baru aku kenal, ada anak kepala daerah dan menteri. Salut
juga mendengarnya, hanya saja aku belum tau anak menteri itu siapa, baru
sebatas informasi saja. Selain itu berbeda dengan sekolah berasrama yang
kebanyakan bagi satu agama saja, di sekolah ini para siswa ada yang beragama
Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, bahkan ada yang atheis,
Sekolah asrama ini
lebih mirip dengan sekolah asrama di Amerika dan Eropa, kurikulum yang
digunakan juga berstandar internasional, maksudku berkiblat ke barat, jadi
berbeda dengan banyak sekolah asrama yang berkiblat ke Timur Tengah. Dari
sekian banyak perbedaan dengan sekolah asrama pada umumnya, ada satu hal yang
sama, menjadikan sekolah ini tidak berbeda dengan sekolah asrama lainnya, yaitu
semua penghuni sekolah ini berjenis kelamin laki-laki, kecuali mbok dapur,
hahahaha.
Papa meninggalkanku
dua hari setelah pembagian kamar, aku dapat kamar di lantai tiga. Kamar ini
diisi empat orang anak, semua kelas satu, tapi beda kelas. Reno, asalnya dari
Padang, kelas 1H seorang anak yang ceria, aku belum kenal dekat, tapi
kelihatannya dia sedikit pelit, meski terlalu dini untuk menilainya, tapi isi
lemari yang lumayan penuh dengan makanan, dan dia tidak pernah berbasa-basi
untuk menwarkannya menjadi alasanku menilainya pelit. Tapi itu bukan masalah
bagiku, kebetulan badanku tidak gendut dan aku juga tidak hobi makan. Di
samping ranjang Reno ada ranjang Idris, siswa berambut keriting dari Ambon,
meskipun dari Ambon dia adalah seorang muslim yang taat, setidaknya dia selalu
sholat tepat pada waktunya. Idris anak yang periang, aku juga belum banyak
ngobrol sama anak itu, hanya nitip air mineral waktu dia mau ke dapur.
Dion dari Malang
adalah siswa kelas 1A, ranjanganya persis di sebelah ranjangku, anak ini adalah
teman pertama yang kuanggap friendly banget, dan dialah yang memberikan
informasi padaku bahwa ada anak menteri yang sekolah di sini. Dan aku sendiri
kelas 1B. Masing-masing dari kami mendapat satu buah lemari yang cukup besar,
satu set meja belajar dan kursi, dan satu ranjang ukuran untuk satu orang.
Tidak ada televisi di kamar kami, bukan berarti kami tidak bisa nonton, karena
televisi disediakan di ruang rekreasi di setiap asrama.
Asrama kami terdiri
dari tiga puluh kamar, bangunan tiga lantai. Kamar mandi ada di setiap lantai,
dan satu ruang rekreasi yang lumayan nyaman, dilengkapi empat set sofa, dan
televisi ukuran besar, juga ada dispenser untuk air mineral. Di asrama ini juga
memiliki satu ruang pertemuan, satu kantor dan dua buah kamar untuk pengurus
asrama, tentunya kamarnya lebih besar dari kamar kami.
Dion, teman
sekamarku yang menjelaskan tentang keadaan dan peraturan di sekolah ini, maklum
saja kakaknya juga sekolah di sini dan sudah kelas 2 SMA sekarang.
“Jadi disini ada
empat belas asrama, setiap asrama terdiri dari delapan puluh sampe seratus dua
puluh siswa, nah asrama kita ini adalah salah satu yang terbesar, karena
khsusus untuk siswa baru.” Jelas Dion suatu pagi, ketika kami masih merapikan
lemari dan meja belajar kami masing-masing. Idris dan Reno ikut menyimak
penjelasan Dion.
“Jadi semua anak
baru ada di asrama ini?” tanyaku penasaran
“Tidak semua,
kapasitas asrama kita cuma seratus dua puluh, anak barunya dua ratus tiga
puluh, jadi ada seratus sepuluh anak lagi di asrama yang lain, tapi juga semua
anak baru. Semuanya sudah disseting, jadi setiap kamar tidak boleh ada yang
berasal dari satu daerah lebih dari dua orang, kelasnya juga diacak, agar bisa
saling mengenal. Nah di setiap asrama itu ada pengurus asramanya, ada yang
sepuluh ada yang empat belas orang.” Sambungnya lagi.
"Kenapa harus
diacak, menurutku nggak masalah satu kamar dari satu daerah" celetuk Reno
sambil memasukkan semua baju dan celanannya ke dalam satu kotak lemarinya,
terlihat begitu penuh padahal empat kotak yang lainnya masih kosong, apa mau
diisi makanan juga sama anak ini, mungkin masih banyak makanan dalam tumpukan
kardus yang belum dibukanya, kenapa gak buka warung aja sekalian.
Dion hanya
menggeleng, seharusnya komentar Reno ditanyakan sama pengurus, bukan sama Dion.
Ada-ada saja si Reno, lagian lebih asik tidak dicampur per daerah agar bisa
berbaur. Atau dia memang nggak suka sekamar dengan kami, apalagi Idris selalu
saja nanya-nanya jenis makanan yang ada di lemari anak dari Padang ini, haha.
“Asrama kita ini
berapa pengurusnya” tanyaku mengabaikan pertanyaan Reno.
“Empat belas kalau
nggak salah, kan jumlah siswa di sini seratus dua puluh orang” Dion menjawab
sambil melipat kemejanya. Meskipun menurutku lipatannya acak-acakan, wajar
saja, Dion tidak jauh berbeda denganku, ya dengan dua ratus tiga puluh siswa
baru lainya, kami semua masih 12 tahun.
“Jadi kalau
pengurus di asrama kita ada empat belas, semoga salah satunya jadi wali
kelasku.” gumamku malu, kan enak kalau pengurus asrama juga jadi wali kelas,
kalau nggak betah ada tempat curhat. Idris dan Reno kelihatannya mengharap hal
yang sama.
“Pengurus asrama
itu bukan guru rick” potong Dion tiba-tiba.
”Pengurus asrama
itu siswa kelas 2 SMA, mereka lebih tepatnya disebut senior gitu. Jadi selain
mereka juga adalah siswa yang memiliki kewajiban belajar selayaknya siswa kelas
2 SMA, mereka juga pengurus asrama yang punya tanggung jawab membimbing anggota
juniornya, kelas 1 sampai 1 SMA.” Dion mulai menatap kami dengan
bersemangat.
“Oh jadi siswa
senior gitu ya, kenapa bukan kelas 3 SMA?” tanyaku penasaran.
“Kalau kelas 3 SMA
itu pengurus OSIS, di sini SMP nggak ada OSIS-nya. Jadi kelas 3 SMA menjadi
pengurus di tingkat sekolah secara umum, kalau kelas 2 SMA hanya bertugas
membimbing junior di asrama masing-masing, maka kelas 3 SMA menjadi pengurus
untuk semua siswa dari kelas 1 SMP sampe 2 SMA. Jadi membawahi lima angkatan
sekaligus." aku menyimak serius penjelasan Dion sementara Idris sedang
menyusun buku-buku pelajarannya di atas meja belajar, sesekali dia berhenti
untuk mendengar obrolan kami.
Sejenak aku
perhatikan isi lemari Idris yang sudah hampir rapi, ada beberapa deterjen yang
dimasukkan ke dalam botol air mineral, nggak tau buat apa anak Ambon ini
memasukkkannya ke dalam botol? Tentu bukan buat diminum menurutku.
"Kalau kita
ketahuan melanggar aturan sama pengurus OSIS, bukan kita saja yang dihukum,
tapi pengurus asrama yang kelas 2 SMA di asrama kita juga akan dihukum oleh
kakak OSIS. Nah, setelah menerima hukuman, kakak pengurus asrama akan menghukum
kita juga, karena atas kesalahan kita, mereka juga kena sanksi, dianggap tidak
becus membimbing anggota asramanya, jadi semacam garis komando dalam militer”
Aku terkejut
mendengar penjelasan Dion. Hukuman? Aku tidak pernah membayangkan tentang
hukuman sebelumnya, jujur saja hal itu tidak terbersit sedikitpun di pikiranku
ketika papa menawarkan sekolah di sekolah ini. Aduh aku mulai ragu mau sekolah
di sini. Kenapa mama dan papa memaksaku sekolah berasrama sih...
Aku sempat mau
bertanya jenis hukumannya, tapi gengsi lah, nanti Dion menganggapku pengecut.
Tapi kalau benar hukuman di sekolah ini sekeras itu bagaimana? aku mulai cemas.
"Oh jadi
seperti militer ya, kata om aku kalau di militer itu hukumannya secara fisik,
pernah juga anggota dipukul sampe gak bisa jalan. Berbulan-bulan loh bekasnya
nggak hilang" Tiba-tiba Idris yang tadi hanya diam ikut nimbrung
bicara, dia sudah selesai menyusun buku-buku di meja belajar dan sekarang sudah
duduk di atas ranjangnya sambil menatap kami berdua, tapi kata-katanya barusan
justru bikin aku tambah cemas saja. Kulihat Reno juga sudah mulai panik, dia
juga sudah duduk di atas ranjangnya dengan mata yang tidak fokus, benar-benar
kacau kalau benar kata Idris.
"Itu jenis
hukuman di sekolah tentara, tidak sama seperti itu! Maksudku sistem komandonya
seperti tentara, bukan hukumannya. Disini tidak ada hukuman fisik, kalau ada
pengurus OSIS yang pake hukuman fisik, justru pengurus OSIS nya yang dihukum,
bahkan bisa sampe dikeluarkan, itu pernah terjadi tahun 2002. Sebuah skandal
yang dibicarakan bertahun-tahun" Dion meluruskan, aku mulai lega
mendengarnya. Dasar Idris ini, diam-diam tapi horor juga pikirannya.
Lagian juga kalau
seandainya pake hukuman fisik kan bisa lapor ke guru saja, atau bahkan lapor
polisi sekalian. Seperti di TV banyak kasus kekerasan di sekolah bisa
dilaporkan.
“Jadi kalau
pengurus asrama dan OSIS itu siswa, apa peran guru di sini? Masa cuma ngajar di
kelas aja?" tiba-tiba saja rasa penasaranku terucap.
“Guru selain
mengajar adalah pengasuh, di setiap asrama akan ada 1 orang pengasuh, tapi
pengasuh tidak tinggal di asrama, mereka di rumah bersama keluarganya. Hanya
saat ada masalah-masalah yang cukup besar yang tidak bisa diselesaikan oleh
pengurus asrama dan OSIS, baru pengasuh yang turun tangan. Jadi pengasuh itu
berperan sebagai orang tua kita selama di asrama." papar Dion.
"Terus
bagaimana kalau kita melawan pengurus?” tanya Reno, kelihatannya dia masih ragu
dengan penjelasan Dion tadi, mungkin dia masih percaya kalau ada hukuman ala
tentara, atau mungkin dia juga takut seandainya pengurus asrama menyita semua
makanan yang ada di dalam lemarinya itu, jadi sudah siap untuk
melawan, hehehe.
Dion shock
mendengar pertanyaan Reno, seakan baru saja ada yang melemparnya dengan balok
kayu. Tapi dia tetap saja menjelaskan, memang orator ulung nih anak.
"Kalau melawan
pengurus asrama atau pengurus OSIS, itu adalah pelanggaran terberat, jangan
pernah mencoba berpikir kesana! apalagi sampe dilakukan, karena hukumannya
adalah dikeluarkan dari sekolah secara tidak hormat. Artinya tanpa surat
pindah." kami bertiga terperangah mendengar penjelasan Dion, pengurus OSIS
ini luar biasa, tidak boleh dilawan.
"Sebenarnya,
pengurus asrama dan OSIS itu bukan polisi, tapi itu proses pendidikan di
sekolah ini, pendidikan kepemipinan dan tanggung jawab. Nanti kalau kita sudah
kelas 2 atau 3 SMA kita juga akan jadi pengurus,” jelas Dion.
Tiba-tiba aku
menjadi tertarik dengan ucapan Dion barusan, Reno dan Idris yang tadi duduk di
ranjangnya masing-masing mulai berdiri dan duduk di ranjang Dion. Ada rasa
hangat yang mengalir pada diri kami, rasa hangat yang timbul karena suatu
keingintahuan, terutama tentang pengurus OSIS yang hebat ini.
“Jadi nanti kita
bisa jadi pengurus seperti kakak-kakak itu?’ tanyaku semakin bersemangat saja.
“Tidak semua,
maksudku. Hanya yang dipilih saja. Seperti angkatan kita ada 230 siswa, sedang
pengurus untuk empat belas asrama hanya seratus dua puluh orang saja, artinya
seratus sepuluh siswa tidak akan terpilih jadi pengurus asrama. Nah ketika
kelas 3 SMA hanya enam puluh siswa yang terpilih jadi pengurus OSIS, artinya
seratus tujuh puluh siswa akan "non job", itu istilahnya di sini bagi
siswa-siswa senior yang gak dikasih jabatan pengurus." aku, Reno dan Idris
saling pandang, dan tampaknya punya harapan yang sama, yaitu jangan sampe
"non job" deh.
"Bukan itu
saja, dari enam puluh pengurus OSIS, hanya satu orang yang paling beruntung,
dialah yang akan menjadi ketua OSIS, bisa dikatakan orang itu adalah siswa
paling berkuasa di sekolah ini, seorang ketua OSIS berhak memilih seluruh
pengurus OSIS, ketua OSIS juga bisa keluar masuk kampus seenaknya, bahkan
seluruh kegiatan kesiswaan semuanya di bawah koordinasi ketua OSIS. Selain itu
ketua OSIS dapat fasilitas istimewa, mulai dari kamar khusus, kamar mandi
khusus, menu makanan yang khusus, pokonya semua serba khsusus. Ya meskipun
tetap tidak selevel dengan guru, karena ketua OSIS pun seorang siswa, kalau
ketua OSIS tidak bikin PR tentu saja guru dapat menghukumnya." Penjelasan
Dion semakin mengagumkan, tapi susah juga membayangakan jadi ketua OSIS,
artinya harus bersaing dengan 230 orang untuk 1 kursi.
"Apa syaratnya
jadi ketua OSIS?" tanya Reno, kelihatannya pertanyaan Reno itu sudah
mewakili aku dan Idris juga, ya siapa yang tidak mau jabatan istimewa, meskipun
masih lima tahun lagi kami sampai kesana, itupun kalau kami betah di sini.
Dion diam sejenak,
kelihatannya dia mulai capek, dari tadi menjelaskan panjang lebar. Tiba-tiba
saja Idris mengeluarkan botol air mineralnya dan menawarkannya pada Dion, yang
langsung meminumnya. Aku sedikit menyipitkan mataku, apa botol itu juga bekas
deterjen? kelihatannya bukan, soalnya tidak ada yang aneh setelah Dion
meminumnya. Huh,, aku suudzon lagi hahaha.
"Tentu proses
seleksinya sangat ketat, selain disiplin, juga harus berprestasi, karena
pengurus itu sibuk, maka kalau tidak pintar bisa-bisa pengurusnya gak naik
kelas, bahkan tidak lulus SMA. Apalagi ketua OSIS, tanggung jawabnya besar,
selain itu juga harus mampu berinteraksi dengan semua kalangan, agama, suku dan
angkatan” Jelas Dion.
“Hah.... tidak naik
kelas? Kan pengurus, masa tidak ada pengecualian?” sela Reno dengan raut
sedikit terkejut, kelihatannya dia sudah membayangkan jadi pengurus OSIS, hehe.
“Gak ada, urusan
sekolah adalah urusan masing-masing, tidak peduli apa jabatanmu di sini dan
siapa orang tuamu di rumah, semua sama. Sebagai pengurus, urusan kehidupan
berasrama itu adalah tanggung jawab, sedangkan masalah sekolah itu kewajiban
seluruh siswa yang sekolah di sini. Makanya kita terbagi dari kelas 1A sampe
1H. Jangan dikira itu asal bagi." Dion tiba-tiba saja nyerocos tanpa
henti. Sementara raut muka Reno mulai masam, nggak tau kenapa.
"Kelas dibagi
berdasarakan hasil ujian. Karena kita masih kelas 1, hanya diurutkan
berdasarkan waktu pendaftaran saja, yang daftar duluan kelasnya A, yang
belakangan kelas H, tapi harus lulus tes masuk dulu. Tapi kalau kelas 2 nanti,
kita akan dimasukan ke kelas berdasarkan nilai kita, kalau nilai tinggi di
kelas A, dan seterusnya. Makanya, ada istilah kelas A itu tidur-tiduran saja
tanpa banyak belajar sudah pasti naik kelas, karena isinya orang-orang cerdas, sedang
kelas H meskipun belajar sepanjang malam tanpa tidur belum tentu naik. Nanti
juga akan dijelaskan dalam masa orientas dalam beberapa hari ini” Dion
tersenyum simpul sambil menatapku.
Reno beranjak
dengan muka terlihat kesal, kelihatannya dia tidak suka dengan penjelasan Dion
barusan. Aku baru ingat kalau Reno kelas H, aduh si Dion ini bicaranya tadi
ceplas ceplos, apa dia nggak sadar mungkin Reno tersinggung.
"Nggak usah
putus asa gitu Ren, kan aku udah bilang kalau kelas 1 bukan berdasarkan prestasi,
tapi berdasarkan siapa yang daftar duluan, jadi meski kamu kelas 1H gak ada
bedanya sama aku yang kelas 1A, cuma beda aku daftar duluan dan kamu
belakangan." Dion buru-butu menambahkan.
Reno duduk di kursi
belajarnya, dan dia mulai tersenyum, syukurlah Dion cepat menyadari perasaan
Reno, nggak enak juga kalau ada yang tersinggung karena kami akan tinggal
berempat dalam kamar ini setidaknya satu tahun.
“Kayaknya, di
angakatan kita nanti kamu yang bakal jadi ketua OSIS, habisnya kamu paham
sekali tentang struktur organisasi di sini.” Aku memuji Dion sambil beranjak
dari ranjangnya, Idris juga ikut berdiri sambil mengangguk-ngangguk tanda
setuju dengan pendapatku, kelihatannya Dion sudah lelah memberi ceramah panjang
hari ini.
“Belum tentu,”
tiba-tiba Dion kembali berbicara membuat kami semua kembali menatapnya.
“Pengurus OSIS itu
dipilih oleh Ketua OSIS atas persetujuan Kepala Sekolah," Dion menjelaskan
lagi.
Ternyata yang
memilih pengurus OSIS adalah ketua OSIS, semoga saja kalau Dion jadi ketua OSIS
dia tidak menunjuk si Reno jadi pengurus, hahaha aku sudah menciptakan musuh
nih, cuma becanda kok, mungkin asyik kalau kami berempat jadi pengurus semua. That's Cool.
"Tapi ketua
OSIS sendiri dipilih oleh seluruh siswa kelas 3 SMA, seperti pemilu gitu, dan
ada satu faktor yang sangat penting dalam memenangi pemilihan itu.” Kata-kata
Dion membuat kami penasaran, wow.
“Apa?” kami bertiga
bertanya bersamaan.
“Kepopuleran."
terang Dion, apa maksudnya?
"Kita harus
populer maka banyak yang akan mengenal kita, ya seperti selebriti. Kalau sudah
terkenal gak perlu lagi kampanye, atau menaikkan elektabilitas ala
politisi."
Elektabilitas? Si
Dion ini biacara apa? Eemang apa itu elektabilitas?
"Intinya terkenal, ya, banyak cara supaya terkenal, bisa secara negatif seperti jadi anak bandel, suka bolos, jadi anak yang paling jorok, paling rakus dan tukang tidur tentu semua orang akan mengenal kita, tapi tentu terkenal akan hal-hal seperti itu tidak akan menjadikan kita ketua OSIS, mana ada siswa yang mau dipimpin anak bandel, jorok, rakus, tukang tidur dan suka bolos." kami bertiga tertawa mendengar kata-kata Dion yang sangat cepat itu, hahaha, aku sendiri juga tidak akan memilih orang yang disebut Dion tadi, meskipun dia terkenal, ada-ada saja, emang ada orang seperti begitu.
"Jadi terkenal akan hal posotiflah yang dapat menjadi modal utama, selain harus banyak teman, tentunya kita juga harus menonjol dalam bidang tertentu, mungkin dalam pelajaran, dalam pidato atau juga dalam ekstrakurikuler." kami termenung mendengar cerita Dion, hemmm berat juga modal utamanya, kecuali yang negatif tadi.
"Tapi ada satu cara lagi untuk jadi terkenal. Dan itu adalah bawaan lahir." Dion terlihat lebih serius, aku terdiam, begitu juga Idris dan Reno. Suara nyamuk pun bisa terdengar.
"Dan Ricko, kamu sduah memiliki itu.” tiba-tiab Dion memandangku dengan senyum jahil
“Maksudmu?” tanyaku
masih belum mengerti, sementara Reno dan Idris malah bengong di tempatnya
masing-masing tanda tak paham.
“Ya, kamu sudah
populer. Kamu ingat pada saat pembagian kelas kemaren?” Dion balik bertanya.
“Ya” jawabku cepat
“Itulah bukti kamu
sudah populer, begitu namamu disebut sesuatu terjadi.........” Jawab Dion
sambil berjalan melewatiku, masih dengan senyum jahilnya, tanpa peduli lagi
dengan apa yang masih membuatku bingung. Sementara Reno dan Idris mulai
tersenyum pertanda mereka sudah mengerti maksud Dion. Mereka malah ikut-ikutin
tersenyum jahil, jangan-jangan mau ngerjain nih?
“Terjadi apa?”
tanyaku bingung. Dion tidak menjawab, begitu juga kedua temanku, semua kembali
ke kursinya masing-masing dan bersandar di meja belajarnya.
Lalu mereka bertiga
mengucapkan hal yang sama seperti hari pertama pembagian kelas,
“wuiiiiiiiiiiiiiissssssss”
Lalu mereka tertawa
terpingkal-pingkal membiarkan aku begong sendirian, sementara Dion bangkit dari
tempat duduknya, berjalan menuju pintu, sambil berbisik di samping telingaku,
"Sudah aku
bilang kamu populer, Reno dan Idris saja paham, hahahahaha"
Aku hanya diam tak
berkata, sementara Dion terus saja berjalan meninggalkan kamar, sementara aku
dibuatnya penasaran. Dasar anak sok tau. Apa maksudnya aku populer. Aneh!!
BERSAMBUNG ......
astaga episode 2 nya manaaaaaaa????����������
ReplyDelete