Story BY: Leoverry

Ada Cerita Cinta Di Asrama Eps. 3


Senin, 05 Januari 2015

Episode 3

Menu sarapan pagi ini nasi goreng dan telur dadar, ada juga teh hangat dan susu, hemmm sudah beberapa hari di sekolah, tapi soal makan sepertinya tidak terlalu bermasalah, lauknya lumayan cukup, meski tidak terlalu mewah. Menu yang disajikan juga bervariasi setiap waktu makan, selain itu ternyata Reno tidak sepelit dugaanku, beberapa kali dia membawa beberapa potong daging rendang ke ruang makan untuk kami santap bersama. Sebenarnya itu ulah Idris, yang hampir setiap waktu makan bertanya tentang isi lemari Reno. Kami berempat termasuk teman sekamar yang kompak, belum ada pertengkaran, kecuali hal-hal sepele tentang klub sepak bola mana yang akan jadi juara liga Inggris, yang kelihatannya punya jagoan masing-masing.

Suasana ruang makan juga nyaman untuk makan ribuan siswa di sini. Ada beberapa meja panjang yang disusun berbaris, dengan bangku-bangku yang diletakkan di setiap sisi meja. Nasi dan lauknya boleh ambil sendiri, jadi bebas saja mau makan banyak atau sedikit, ada pengurus dapur yang mengawasi seluruh siswa yang sedang makan, tapi jangan pernah untuk membuang nasi, karena itu masuk kategori pelanggaran, jadi ada hukumannya. Lokasi ruang makan ini juga unik, kalau biasanya posisi ruang makan dan dapur di bagian belakang, justru ruang makan kami berada di tengah-tengah kompleks sekolah. Dari kejauhan bangunan ini terlihat seperti perpustakaan, bahkan di malam hari dengan lampu yang terang jadi mirip seperti restoran, ada dua kolam di kedua sisi bangunan ini, dan taman di bagian depan. Kata Dion bila dapur bersih, gedung-gedung lain akan ikut bersih juga. Ya, mungkin saja.

Tapi tumben teman-teman sekamarku belum nongol di ruang makan? mungkin mereka masih di jalan. Tapi ketika aku meninggalkan kamar, mereka bertiga sudah pergi, kemana?

"Aku boleh duduk disini" suara seseorang mengejutkanku, sejenak aku diam, aku tidak kenal anak ini, dan badannya lebih tinggi dariku, mungkin siswa senior nih, aku harus lebih hormat jangan-jangan pengurus OSIS.

"Diam berarti boleh" sambungnya tanpa peduli. Anak yang cuek kelihatannya.

"Eh,, ya, maaf kak, silahkan" dengan gugup suaraku akhirnya keluar juga. Hemmm apa kakak ini orang Tionghoa? kulitnya putih, matanya rada sipit. Ngapain juga mikirin dia dari mana, itu bukan urusanku.

"Anak baru ya?" sapa siswa di sampingku ini. Sambil makan, dia santai saja ngajak aku ngobrol, justru aku yang jadi salah tingkah. Gimana jawabnya, hemmm.

"Ya kak, kakak pengurus OSIS ya?" aduh kenapa itu yang aku tanyakan, Dion kemana lagi, jadi hilang nafsu makanku.

Cowok di samping ku ini justru tertawa, apa yang ditertawakannya? Apa ada yang lucu dengan mukaku?

"Bukan, gue kelas 3 SMP, gue bukan pengurus OSIS, mungkin tiga tahun lagi. Oh ya, perkenalkan, gue Kevin? Lu siapa namanya?" tanya anak itu percaya diri.

"Ricko kak." jawabku pelan. Sejenak aku diam saja, sedikit lega rasanya ketika tau dia bukan pengurus OSIS.

"Kenapa diam saja, ayo dimakan nasinya, ntar dingin loh? mau disuapin?" tiba-tiba mukanya mendekat beberapa senti dari wajahku. What? Mau Nyuapin? sembarangan aja. Anak ini benar-benar "berani". Enak aja.

"Becanda kok, ayo dimakan nasinya, gue bukan pengurus OSIS. Nggak usah sungkan. Lagian juga kalau gue pengurus OSIS kanapa? Ngapain lu takut sama pengurus OSIS, mereka juga siswa sama seperti kita." celoteh anak ini ceplas ceplos.

"Lu keturuan Chinese ya?" tanyanya.

Aku mulai makan beberapa sendok tanpa memperdulikan omongan kak Kevin ini. Pertanyaan nggak penting, kalau nyuruh aku makan kenapa juga ngajak ngobrol. Kelihatannya dia juga tidak berharap aku menjawab pertanyaan basa basinya itu.

"Lu darimana?" tanyanya lagi. Hemmm, ngintrogasi nih ceritanya. Oke, aku akan jawab saja, dari pada aku nanti dibilang sombong.

"Lampung kak". jawabku singkat.

"Pantes putih-putih ya, orang Lampung kan banyak yang putih-putih mirip Chinese." si Kevin ini berkomentar.

Putih-putih? Emang gue pocong apa. Beginilah rasanya ngobrol sama senior, kita nggak bisa ceplas ceplos. 

Oke Ricko, ayo rileks saja, bicara saja sebisamu yang penting ramah, lagian juga dia bukan pengurus OSIS, dan anaknya kelihatannya asik. 

"Hemm, ya kak. Kakak sendiri darimana?" tanyaku dengan nada biasa.

"Gue dari DKI, tau kan?" jawabnya sigkat

"Taulah," jawabku

"Kali aja lu gak tau? Becanda lagi hehehe. Gak usah panggil kakak lah, kitakan sama-sama SMP, panggil Kevin saja." dia berlagak ramah, tapi memang lumayan ramah orangnya. Dan senyumnya juga menyenangkan.

Kami mulai ngobrol dengan santai, ternyata Kevin ini campuran antara Chinese dan Sunda, mirip aku dong Sunda dan Sumatera hehehehe, ayahnya bekerja di BUMN, ibunya bagian pemasaran di perusahaaan properti. Dia juga bercerita tentang kegiatan dan peraturan di kampus ini, dan tentunya tips-tips penting agar tidak kena hukuman (menurutku lebih ke arah cara melanggar aturan agar nggak ketahuan), meskipun sebagian besar aku sudah tau dari penjelasan Dion, setidaknya informasi ini membuktikan Dion akurat.

Aku sudah hampir menghabiskan nasi di piringku ketika ketiga temanku tiba di ruang makan, mereka mengambil nasi dan lauk lalu segera bergabung bersama kami berdua, tapi Kevin sudah selesai makan. Kevin menyapa ketiga temanku dengan gayanya yang sok akrab, tidak lama setelah Dion, Reno dan Idris duduk Kevin berdiri dan pamit duluan, tiba-tiba saja beberapa siswa yang duduk di seberang meja kami tersenyum ke arah kevin, kelihatanya teman-teman sekelasnya.

"Vin, lu tau aja dimana ada lampu yang terang" celetuknya sambil tertawa, beberapa temannya juga ikut tertawa sedangkan Kevin hanya tersenyum ke arah mereka. Aku tidak memperdulikan anak-anak itu, bukan urusan ku juga.

"Sirik aja lu," gumam Kevin sambil lewat di dekat meja teman-temannya itu. Kulihat beberapa mata siswa lain juga memandang Kevin, lalu bergantian memandangku. 

"Sudah cuek aja, jangan dipikirin" tiba-tiba Dion menepuk bahuku.

"Mikirin apa? emang ada yang salah" tanyaku penasaran.

"Nggak ada yang salah. Oh ya, kamu cepat juga dapat teman senior?" tanya Dion penasaran.

"Ya, Kevin duluan tadi yang ngenalin diri" jawabku asal saja. Memang benar dia yang duluan menghampiriku.

"Tapi memang anaknya bersahabat kok, mudah bergaul. Dari gayanya bicara aja tadi kelihatannya dia anak yang asik" Reno ikut komentar. Aku setuju dengan Reno, Kevin memang anak yang friendly, ya meskipun sok akrab.

"Tadinya aku sempat gugup juga, ku kira dia pengurus OSIS, jadi takut salah aja" gumamku.

"What? Emang kenapa kalau dia pengurus OSIS?" tiba-tiba Dion terkejut, hampir tersedak malah.

"Kita harus sopan kan? nanti bisa dihukum" jawabku polos.

"Rick, pengurus OSIS itu memang hebat, tapi nggak segitu juga kali. Maksudku menjelaskan kemaren, pengurus OSIS itu berkuasa pada wilayah dan jamnya masing-masing." jelas Dion, kelihatannya dia berusaha memberi pemahaman lagi.

"Wilayah bagaimana maksudnya?" tanya Reno.

"Begini, tidak semua pengurus OSIS harus kita takuti, betul kita harus sopan dan menghargai mereka toh kepada semua siswa kita harus sopan. Seperti Pengurus Bagian Koperasi, Bagian Perpustakaan, Bagian Penerimaan Tamu dan Penerangan, tidak ada yang perlu ditakuti, mereka tidak akan menghukum kita, justru Bagian Penerimaan Tamu itu paling ramah dan suka senyum." jelas Dion.

"Oh gitu, jadi pengurus mana yang perlu kita waspadai?" tanyaku sambil tersenyum.

Dion menghabiskan nasi dalam mulutnya, kemudian menjawab lagi, "Hanya pengurus yang mengurusi disiplin saja, misalnya bagian Keamanan. Nah bagian keamanan itu tidak akan pernah tersenyum, karena mereka memang paling galak, dan sengaja dituntut seperti itu. Tapi, yang perlu kamu ketahui, bagian keamanan tidak makan di sini, mereka punya ruang makan sendiri." Tambah Dion.

Aku mengangguk saja, sebenarnya masih mau bertanya, kenapa begitu? Kasian si Dion, jadi nggak selesai-selesai makannya kalau aku terus bertanya, hehehehe. Nanti juga aku paham sendiri, namanya adaptasi, pasti butuh proses yang panjang.

"Kamu nggak bawa rendang Ren?" tanya Idris tiba-tiba, aku sampai lupa kalau ada Idris di sini, habisnya dari tadi diam saja.

"Nggak, bosan makan rendang terus" jawab Reno ketus. Aku dan Dion saling pandang sambil menahan senyum.

"Aku nggak bosan kok," ucap Idris polos.

"Emang di Ambon nggak ada rendang ya" aku bertanya sama Idris.

"Ada rumah makan yang jual nasi rendang di Ambon, namanya rumah makan padang, Tapi tidak seenak punya Reno" tambah Idris dengan penuh pujian. Kayaknya pujian biasa, hahaha, mungkin berharap Reno mau berbagi rendangnya.

"Seharusnya kamu tidak beli di rumah makan Padang! Di kotaku tidak ada rumah makan padang, tapi rendangnya dijamin enak. Tenang aja dris, entar deh aku bagi, kasian juga lihat orang Ambon kangen rendang." celetuk Reno membuat kami bertiga tertawa. Mana ada rumah makan Padang di Padang hahahaha.

"Aku duluan ya, aku sudah selesai nih" ucapku pada ketiga teman yang sedang asik makan itu.

"Bareng aja, emang kamu mau kemana?" tanya Idris. Aku juga bingung mau kemana, kegiatan masih kosong, pulang ke kamar juga nggak ada orang, teman lain juga belum punya, masa cari si Kevin tadi, aku saja sudah lupa asramanya dimana. Kalaupun tau, malu juga cari-cari dia, nanti dibilang aku lagi yang sok akrab. Mending aku duduk di depan aja, sambil nunggu ketiga temanku selesai sarapan.

"Oke, aku nunggu di depan ya, di bangku dekat kolam" terangku pada mereka bertiga yang tersenyum mengangguk.

Ada tiga bangku beton di pinggir kolam, aku duduk di bangku paling ujung. Jadi nggak terlalu dekat dengan jalan menuju pintu masuk ruang makan, karena masih jam makan banyak anak-anak yang akan lewat, grogi juga kalau duduk di dekat jalan begitu, pasti banyak yang lalu lalang, mau nyapa aku nggak kenal, nggak negur dianggap sombong. So, bangku ujung ini lebih pas, jadi bebas saja buat merenung.

Pagi ini udaranya lumayan terik, kegiatan formal belum dimulai, karena masih masa persiapan. Aku ingat hari ini hari minggu, biasanya aku kumpul sama papa dan mama. Ya, di sini aku punya teman, urusan asrama bagus, masalah menu makan juga lumayan.

Tapi soal kangen papa dan mama? Sudah pasti kangen banget. Sudah tidak terhitung berapa kali aku menangis, kadang sebelum tidur, kadang bangun tidur, pokonya kalau lagi sendiri begini pasti ingat papa dan mama. Bolak-balik wartel cuma buat nelpon mama, dan selalu dapat nasehat yang sama.

jangan nangis, bulan depan papa dan mama pasti menjenguk. Kamu kan cowok, jangan nagis lagi ya” pesan mama, padahal mama nelponnya juga sambil nangis. Huft.

Kadang terbayang teman-temanku waktu SD, pasti sekarang mereka masuk SMP yang nggak ada asramanya. Pasti asik banget, pulang sekolah bisa jalan-jalan, kenalan sama teman-teman cewek, bisa cari gebetan. Membayangkan semua itu menjadikan hatiku semakin sedih saja, ingin rasanya aku kabur dari sekolah ini, meskipun kadang aku juga berpikir, bagaimana bisa kabur aku saja tidak tau tempat ini ada dimana.

Aku menyalahkan diriku sendiri, sebenarnya papa dan mama tidak terlalu memaksa agar aku sekolah asrama, karena rasa penasaranku dan keinginan sekolah di luar daerah membuat aku nekat saja setuju dengan usul papa. Aku berpikir, kalau sekolah di asrama akan dapat uang jajan banyak, ya pikiran kekanak-kanakan, tapi memang aku masih anak-anak, aku baru 12 menuju 13 tahun. Ma, jemput aku dong, aku mau pulang, batinku menjerit.

Tanpa kusadari pipiku sudah basah, untung nggak duduk di bangku dekat jalan tadi, kan tengsin ketahuan nangis sama siswa lain, cowok kok nangis, memalukan.

“Rick! Bengong aja, ntar kesambet loh” Dion tiba-tiba memecah lamunanku. Kugunakan lengan bajuku untuk menghapus sisa air mataku tadi, jadi malu. Dion berdiri menatapku, dia tidak terkejut, mungkin sudah biasa siswa baru ngangis.

“Iya, mana Reno dan Idris?” tanyaku, aku tak melihat kedua temanku itu di samping Dion.

“Ke asrama sebelah mau ngambil laptopnya Idris, kemaren kan dititip sama kakakku,” Aku baru teringat kalau Dion punya kakak kelas 2 SMA, ternyata dia pengurus asrama. Pantas saja Dion nggak terlalu sedih berpisah sama ortunya, diakan ada kakak di sini, yang bisa menghibur dan menemaninya. Sedang aku? tambah sedih saja.

“Nggak usah kusut gitu. Bukan kamu saja kok yang suka nangis” bisik Dion.

“Aku nggak nangis kok” dengan malu ku tegakan kepalaku. Padahal jelas-jelas saja aku nangis, benar-benar nangis, sampe banyak air mata gitu. Huft. Ketahuan banget aku cengeng.

“Kita keliling kampus yuk, kamu kan belum pernah keliling kampus.” ajak Dion. Dia memang teman yang baik, aku tau Dion sengaja menghiburku.

“Aku sudah keliling hari pertama sama papaku” jawabku singkat. Rada malu juga keliling-keliling dengan mata sembab gini.

“Cuma keliling aja kan, pasti papamu nggak menjelaskan apa-apa?” Dion menatapku jahil, kayaknya anak ini memang punya tatapan yang tajam, kadang juga rada licik senyumnya. Hehehe, but He is my best friend.

“Emang mau kemana? Reno dan Idris gimana?” tanyaku ragu

“Udah, ikut aja, ntar juga mereka nyusul” ucap Dion santai.

Aku berdiri menyusul Dion yang berjalan terlebih dulu. Kami menyusuri teras ruang makan yang berada di sisi selatan gedung. Di sampingnya ada taman yang lumayan luas, ada beberapa pondok-pondok kecil beratap jerami di tengah-tengah taman, para siswa biasanya menggunakannya untuk belajar. Setelah beberapa menit kami sampai ke sebuah gedung 4 lantai, gedung itu menurutku lebih mirip gedung kantor kejaksaan di Badarlampung. Kulihat tulisan yang tertera di papan depan gedung:

OSIS, Bagian Kesenian dan Keterampilan”.

Sejenak ku tatap gedung ini, banyak pamplet-pamplet berbaris di sepanjang gedung, nggak begitu jelas bacaannya, karena tulisannya nggak begitu besar.

“Kok berhenti disitu” Dion memanggilku dari pintu gedung.

“Ayo masuk  sini”. ajaknya.

“Eh, ya.” Jawabku gugup. Aku masih bertanya-tanya, gedung sebesar ini hanya untuk bagian kesenian dan keterampilan?

Kami berjalan melewati koridor lurus yang tidak terlalu panjang. Di ujung koridor ada ruangan yang cukup besar, seperti ruang tunggu bandara. Di tengah ruangan ada dua tangga, dan di setiap sudutnya banyak koridor-koridor yang menghubungkan setiap sisi gedung, dan juga ada pampletnya. Sekilas aku lihat ada seksi Marching band, Seksi lukis dan kaligrafi, seksi sablon dan dekorasi, seksi teater dan drama, seksi musik, seksi paduan suara, dan ada seksi-seksi lainnya. Aku takjub melihat sekelilingku, sejenak kangen papa dan mama terlupakan.

“Kamu mau pilih yang mana” ucap Dion sambil berdiri di salah satu lorong yang ada pamflet Seksi Marching Band, dengan gambar terompet bersusun diapit dua bendera yang tidak aku pahami motifnya.

“Maksudnya pilih apa?” tanyaku penasaran, terus terang aku nggak paham maksud Dion.

“Ini semua kegiatan kita nanti, selain sekolah kita bebas memilih kegiatan ekstrakurikuler” Dion mulai menjelaskan seperti tour guide. Oh ternyata ini kegiatan ekstrakurikuler. Banyak sekali kegiatannya, aku jadi bingung mau pilih yang mana.

"Apakah kita harus jadi pengurus untuk bisa ikut ektrakurikuler ini?" tanyaku, tentunya untuk jadi pengurus masih lima tahun lagi.

“Tidak, kita bukan mau jadi pengurus, tapi kita mau ikut kegitan esktrakurikuler. Semua kegiatan yang ada di gedung ini dikoordinir oleh bagian kesenian dan keterampilan OSIS”. Aku terpukau mendengar penjelasan Dion.  Yang mengurus hal sebanyak dan sebesar ini adalah siswa, luar biasa.

“Kemaren aku sudah jelaskan peran OSIS kan?" Dion kembali bersemangat, seperti biasa dia mulai kumat mau jadi komentator. Tapi itu bagus, nambah informasi yang mungkin penting buatku nanti.

"OSIS itu membawahi 16 Bagian, Bagian Keamanan, Bagian Kesehatan, Bagian Perpustakaan, Bagian Informasi dan Jurnalistik, Bagian Pramuka, Bagian Bahasa, Bagian Olahraga, Bagian Kebersihan dan Pertamanan dan masih banyak lagi bagian-bagian lain, salah satunya bagian kesenian dan keterampilan ini.” jelas Dion. Gila, anak ini paham banget sih, gaya bicaranya juga benar-benar meyakinkan, aku akan pilih Dion lima tahun lagi, untuk jadi ketua OSIS, hehehe.

“Setiap bagian punya gedung segede gini” tanyaku semakin kagum, gimana nggak kagum, gedung segede ini di Bandarlampung buat satu instansi pemerintah, yang kepala kantornya sudah tinggi jabatannya. Di tempat ini buat satu bagian OSIS saja? Itu mengagumkan buatku.

“Nggak lah. Gedungnya tergantung kebutuhan." Dion langsung menjawabku, biar pikiranku nggak langsung melayang jauh. hahaha.

"Seperti Bagian kemanan hanya dapat beberapa ruangan dalam satu gedung, berbagi sama bagian-bagian lainnya. Tapi meskipun hanya beberapa ruangan, bagian keamanan adalah bagian paling angker dan paling berkuasa disini, seperti kataku tadi, jangan buat masalah dengan bagian keamanan." Aku mengangguk pertanda aku mengerti. Aku nggak akan berulah sama bagian keamanan, mending cari aman.

"Hanya beberapa bagian yang punya gedung besar, salah satunya bagian kesenian dan keterampilan karena banyak seksinya, bahkan masih ada gedung lainnya.” Aku mendengar penuh takjub penjelasan Dion. Ternyata bagian ini masih punya gedung-gedung lain lagi. Cool.

“Ada 2 gedung lagi yang lumayan besar, juga fasilitas untuk bagian kesenian dan keterampilan, buat latihan dan showroom sih.”tambah Dion. 

“Jadi, gedung ini buat apa” tanyaku heran

“Gedung ini buat kantor dan latihan juga”  jawab Dion sambil berjalan berkeliling.

“Loh kok banyak banget gedung latihannya” tanyaku bingung

“Gini, kalau seksi musik latihannya di gedung ini, karena untuk latihan tidak butuh banyak ruang, tergantung siswa mau belajar apa, gitar, keybord, drum atau bass. Nah buat seksi lukis dan kaligrafi mereka butuh ruangan yang cukup banyak, mengingat akan banyak siswa yang ambil eskul itu. Jadi latihan di gedung yang satunya. Selain itu, seksi lukis dan kaligrafi juga membutuhkan showroom untuk memamerkan karya-karya alumni mereka yang sudah mahir." Aku tercengang mendengar kata-kata Dion, banyak sekali eskulnya? seperti sekolah seni aja.

"Ada juga seksi sablon dan dekorasi, siswa yang ambil esksul itu juga butuh banyak ruangan untuk latihan, karena banyak praktek. Selain itu juga nggak kalah penting seksi Marching Band, eskul ini punya ruangan yang sangat besar di gedung ini, ruangan itu buat nyimpan alat-alat marching band, kayak terompet, snar drum, drum tenor, simbal, Mellophone, Tuba dan masih banyak lagi.” penjelasan Dion semakin luar biasa saja. Ternyata Dion bukan hanya tour guide, tapi juga ahli alat-alat musik, malah sebagian besar alat-alat yang disebutnya tadi tidak pernah aku dengar sebelumnya. 

Yang penting aku menyimak saja, tak akan menyela karena informasi dari Dion telah membangkitkan sesuatu dalam diriku. Kelihatannya eskul merching band ini menarik. Meskipun aku tidak yakin aku bisa diterima di eskul ini, nama-nama alatnya saja aku tidak tau alih-alih memainkannya.

“Selain itu, seksi marching band juga membutuhkan ruangan latihan, nah biasanya mereka latihan di gedung satunya lagi. Tapi kalau geladi persiapan tampil biasanya meminjam GOR buat performance, tentu saja atas izin bagian Olahraga, karena GOR kan di bawah bagian olahraga.” Tutur Dion tanpa memperdulikanku yang masih bengong dibuatnya.

“Aku sendiri akan pilih marching band, kamu kira-kira pilih apa buat eskul.” Tiba-tiba Dion balik bertanya padaku. Aku jadi kaget, kalau Dion bisa milih marching band pasti dia diterima saja, dia sudah tau semua alat di sana, bahkan mungkin semua eskul ini akan menawarkan tempat untuk Dion, aku jadi minder.

“Aku belum tau, mungkin aku akan lihat dulu mana yang asyik.” Ucapku canggung, ya itu lebih bijaksana, aku juga belum tau bakat ku ada dimana, kalau sudah jelas bakatnya baru tentukan minatnya, setidaknya itulah kesimpulan awalku. Jadi ingat Reno dan Idris, apa mereka sudah tau tentang eskul ini? kalau ya, mereka akan pilih yang mana? bagaimana kalau mereka bertiga semua di terima di kegiatan eskul, sedang aku tidak? sudahlah, nanti saja memikirkannya, bikin nggak enak hati saja.

“Kok ngelamun sih? masih mikirin ortu ya?" tiba-tiba Dion menepuk pundakku. 

"Nggak kok, aku lagi mikir aja, kira-kira eskul apa yang tepat untukku" jawabku sekenanya.

"Kalau kamu ikut marching band, aku yakin kamu akan bisa jadi mayor utama, bahkan bisa jadi FC” Dion sekarang tersenyum jahil ke arahku. Mulai nggak enak nih, biasanya kalau tampang nya begini, pasti ujung-ujungnya mau ngerjain.

“FC? “ tanyaku penasaran, mengabaikan senyum jahilnya itu.

“Ya, Field Commander. Pemimpin dalam sebuah marching band saat tampil di lapangan. Di sini anak-anak lebih sering nyebutnya Gitapati. Gitapati  sebenarnya sebutan untuk pembantu FC, tapi di sini FC dan Gitapati itu dianggap sama saja.” Jelas Dion. Aku hanya tersenyum masam, ngomong makanan jenis apaan si Dion, Gitapati? Apa itu? Kalau Kertapati baru aku tau. itu nama daerah di Lampung hehehe.

“Ah ngaco kamu, aku saja gak ngerti istilah-istilah begitu, aku masih awam soal marching band, mana mungkin jadi ketua marching band.” Sahutku ketus, pasti ujung-ujungnya aku dikerjain, dasar Dion.

“Bukan ketua seksi marching band, maksudku peran pada saat tampil sebagai FC. Kamu pernah nonton marching band kan?” tanya Dion. Aku hanya mengangguk. Ya di Lampung aku sering lihat parade drumb band, sepertinya sama saja, kan ada "band" nya juga.

“Nah kalau sedang atraksi di jalanan sambil berjalan baiasanya FC jarang dipake, kebanyakan yang memberi komando mayor atau mayoret. Berhubung kita semua cowok, jadi cuma ada mayor saja. Kalau mayor banyak, maka ada yang jadi mayor utama. Namun kalau sedang perform di lapangan, tidak ada mayor utama, mayor utama akan bertindak sebagai FC, mirip-mirip konduktor di orkestra gitu.” Jelas Dion panjang lebar.

Oh, aku paham. Kondukor dalam orkestra, yang menggerakan tangan ngasih komando itu, pake stik kayak tongkat sihir Harry Potter. Hahahaha, ada-ada aja, nggak kebanyang aku yang bodoh soal marchingband jadi konduktornya, Dion ini memang nyebelin, ngerjain aku lagi.

“Apa hubungannya, sampe kamu bilang aku bisa jadi FC, pasti kamu ngerjain aku.” Aku tambah curiga dengan senyum jahil Dion tadi.

“Aku nggak ngerjain kamu kok. Memang sih untuk jadi FC itu sulit. Seperti yang aku bilang tadi FC itu pemimpin dalam sebuah marching band saat tampil di lapangan. Jadi seorang FC harus memiliki musikalitas yang tinggi, karena tugasnya sagat berat. Dia harus bisa mengatur tempo dan menjaga tinggi rendahnya nada. Tapi itu semua bisa dipelajari kok. Itulah gunanya kita ikut eskul ini.” Aku masih menatap penuh curiga sama Dion, karena senyumnya semakin jahil aja, bahkan aku sama sekali tidak mengerti tentang FC yang baru saja dia jelaskan, walaupun aku akui, aku masih penasaran dan ingin mendengar penjelasannya.

“Selain itu FC itu akan berdiri di podium yang lebih tinggi, jadi akan dilihat oleh semua penonton. Intinya akan menjadi pusat perhatian publik, maka selain syarat-syarat tadi, ada syarat terakhir untuk jadi FC, dan yang sudah kamu miliki sih.” Dion semakin membuat aku penasaran.

“Apa itu?”tanyaku penuh minat

“Cakep dan enak dipandang mata” ucap Dion, kali ini tidak hanya dengan senyum jahil tapi dengan ketawa penuh keisengan. Aku terbelalak dan baru akan berbicara, Dion sudah beranjak berlari ke lantai atas, aku mengejarnya. Sambil berfikir, apa maksud dari perkataan terakhirnya, pujiankah atau sindiran. Dasar Dion! Sahabat yang baik, tapi nyebelin!

BERSAMBUNG ......









No comments:

Post a Comment