Story BY: Leoverry

Ada Cerita Cinta Di Asrama Eps. 15

Minggu, 02 Desember 2018


Episode 15

"Maksudmu dia sedang cari perhatian?" tanya Reno penasaran.

"Aku tidak yakin. Hanya saja feelingku mengatakan demikian." jawabku datar.

"Dari ceritamu justru sebaliknya, seakan kamu yakin dia sedang cari perhatian." ucap Reno sambil mengangkat sebelah alisnya. Tampaknya dia ragu dengan jawabanku tadi.

"Aku sudah kenal dia sebelum jadi anggota asramaku." ucapku pelan.

"Maksudmu kalian sudah lama saling kenal?" tanya Reno bingung.

"Bukan begitu, waktu kelas 1 SMA dia pernah cari temannya di asramaku. Memang saat itu cara bicaranya menurutku aneh." jawabku ragu. Aku ingat kata-kata yang diucapkan anak itu dan cukup bikin aku malu tahun lalu.

"Aneh bagaimana?" tanya Reno lagi.

"Dia tidak mudah merasa bersalah, dibilang sopan tapi kadang serasa dia anak yang lancang. Dia bukan tipe anak yang pemalu, justru terlalu berani atau nekat sih menurutku." aku menjawab sambil menggerak-gerakan jari. Reno duduk memperhatikan ucapanku, berharap aku menjelaskan lebih detail lagi tentang Leo.

"Contohnya bagaimana?" tanya Reno yang kelihatannya belum puas dengan ceritaku tadi.

"Dia pernah bertanya kepadaku tentang bagaimana pendapatku bila seorang anggota pacaran sama pengurus asramanya." sambil tertawa aku menjawab rasa penasaran Reno.

"Serius kamu Rick?" tanya Reno yang tampak kaget dengan ucapanku tadi.

"Konyolkan pertanyaannya? Yang jadi masalah dia menanyakannya pada pengurus asrama, itu yang aku maksud antara lancang, berani atau nekat." jawabku. Reno tertawa cekikan mendengar ceritaku. Raut wajah Reno mengisyaratkan dia makin penasaran dengan anak itu.

"Terus kamu jawab apa?" tanya Reno semakin ingin tahu saja.

"Menurutmu aku harus jawab apa?" aku bertanya balik. Reno hanya mengangkat kedua bahunya, tampak bingung mau ngomong apa.

"Aku jawab sembarangan saja, karena aku masih shock mendengar pertanyaan begitu. Aku analogikan seperti aku minta pendapat mama bagaimana kalau aku pacaran sama cowok? Kamu bisa bayangkan kira-kira jawaban apa yang akan aku dapatkan dari mamaku." jelasku pada Reno yang tambah kencang saja tawanya.

"Aku penasaran sama Leo ini loh Rick. Serius loh. Kamu nggak mengada-ngadakan dengan pertanyaannya tadi?" tanya Reno agar lebih yakin lagi.

"Ntar deh kamu ketemu sendiri sama orangnya." ucapku ketus.

"Hahahahahaha, memang aneh juga Rick. Dia selalu milih waktu buat terlambat, nunggu waktu kamu yang piket jaga. Terus dia juga kalau bicara sama kamu cenderung lancang dan berani, selain itu dia nanya pertanyaan aneh tadi. Bisa saja dia cari perhatian sama kamu Rick." terka Reno yang omongannya sudah seperti tukang ramal.

"Kenapa harus cari perhatian, dia anggota asramaku. Pastilah aku akan memperhatikan semua anggota asramaku." bantahku,

Menurutku sangat aneh mencari perhatian dengan cara melanggar aturan,

"Bukan itu maksudku. Bisa saja dia ingin jadi anak yang di-spesial-kan. Seperti "Adik Kecil" begitu?" lanjut Reno hati-hati.

Aku sedikit kaget mendengarnya. Istilah "Adik Kecil" biasa dipakai di kalangan pengurus asrama. Jujur saja aku pernah dianggap seperti itu hampir di setiap asrama yang aku tempati tahun-tahun lalu. Menurutku tidaklah menyenangkan menyandang gelar "Adik Kecil" itu.

Meskipun beberapa temanku menikmati menjadi "Adik Kecil" seperti halnya Joshua. Istilah itu merujuk kepada anggota asrama yang mendapat perlakuan istimewa karena pengurus asrama tertentu menyukai seorang anggota asramanya yang cakep, tampan, cute, imut, manis dan istilah-istilah lainnya tapi malu kalau dijadikan pacar karena tidak pantas. Namun demikian pengurus-pengurus asrama yang lain mengetahui bahwa anak itu disukai sama pengurus tertentu meskipun anak itu tidak tau. Jadi pengurus-pengurus yang lain akan memberi kelonggaran pada anak itu, jadi bila melanggar bisa saja tidak dihukum, bahkan kadang-kadang ditraktir sama pengurus-pengurus lainnya.

Kalau dipikir-pikir "Adik Kecil" ini lebih mirip simpanan. Kadang peristiwa memalukan bisa terjadi hanya masalah "Adik Kecil" ini, contohnya pengurus asrama saling bersaing untuk mendapatkan "Adik Kecil" yang jumlahnya terbatas, toh tidak mungkin dalam satu asrama semua anggotanya cakep, tampan, cute, imut, manis.

Menurutku sangat bodoh dan tidak masuk akal bila pengurus asrama berebut "Adik Kecil", mereka juga tidak mendapatkan apa-apa. Meskipun anak itu diperlakukan istimewa, kadang diberikan berbagai macam hadiah, tidak ada keuntungan apapun yang di dapat si pengurus Asrama. Karena hubungan itu adalah hubungan satu arah, artinya sering kali anggota yang menjadi "Adik Kecil" tidak tahu dengan statusnya. Malah dalam kasusku, aku sudah punya pacar, ngapain juga melayani kakak pengurus yang punya perasaan tidak pantas. (itu menurutku saat itu).

Perkara "Adik Kecil" ini sudah ada dari zaman dahulu, kami tidak tahu kapan persisnya dimulai dan siapa pencetusnya. Menjadi peliharaan menurutku bukanlah pilihan yang baik, meskipun Joshua menikmati ketika salah satu pengurus asramanya dulu menjadikannya "Adik Kecil", bahkan mereka benar-benar pacaran sampe kakak itu menjadi pengurus OSIS.

Mendengar kata "Adik Kecil" seringkali membuatku tidak nyaman, dan menurutku Leo tidak berharap seperti itu. Mungkin saja dia menyukai salah satu pengurus asramanya, bukan berarti dia "Adik Kecil", karena dia bukan peliharaan.

Hampir setengah jam kami berdua ngobrol tentang Leo dan "Adik Kecil" di pondok jerami ini, sambil menunggu Idris yang kelihatannya tidak akan datang. Entah mengapa aku sekuat tenaga membela Leo dan dengan tegas mengatakan kepada Reno bahwa Leo tidak berusaha menjadi 'Adik Kecil", yang pada akhirnya Reno sepakat denganku.

Aku tidak bisa membayangkan Leo menjadi peliharaan teman-temanku sesama pengurus asrama. Membayangkannya saja membuat aku kesal dan marah. Entah apa penyebabnya aku tak tahu, yang jelas Leo tidak boleh jadi "Adik Kecil" di asramaku.

Reno tertawa cekikikan setelah mengetahui tekadku tadi. Ini adalah kali pertama kami berkumpul dengan suasana santai semenjak kami jadi pengurus asrama. Kami beberapa kali sempat bertemu saat jam makan malam dan berangkat ke kelas, namun hanya sebatas menyapa saja, tapi untuk betul-betul ngobrol seperti ini baru kali ini terlaksana meski entah sudah berapa kali kami menjadwalkannya. 

Aku bercerita berbagai macam hal kepada Reno, tidak seperti obrolan kami beberapa tahun silam ketika merencanakan PDKT sama Fikri, atau obrolan ringan seputar gosip di kampus dan kadang juga ngomongin kakak pengurus asrama yang angkuh dan sombong. Dan tentu saja obrolan tentang aku dan Fikri yang kadang ujung-ujungnya rada porno dan mesum nggak jelas.

Kali ini obrolan kami cukup berat, maklum saja kami bukan lagi anak-anak baru yang cupu, kami juga bukan lagi anggota asrama yang hanya mengurusi dirinya sendiri. Tapi kami adalah pengurus yang juga punya tanggung jawab terhadap anggota yang kami bina.

Obrolan kami pun lebih banyak seriusnya. Awal pembicaraan kami tidak banyak canda dan tawa, bahkan ketika kuperhatikan wajah temanku ini sudah sangat jauh berbeda dari tahun lalu. Reno tampak lebih banyak pikiran dan beban yang hampir sama banyaknya dengan yang aku pikul.

Apa yang disampaikan Pak Armen malam itu benar-benar kami hadapi. Reno sempat menyinggung masalah asramanya sebelum kami membahas Leo yang menjadi masalahku. 

"Aku kurang nyaman di asramaku" ucap Reno dengan suara getir.

Aku menatapnya, tampak raut kekesalan dalam wajahnya.

"Maksudmu?" tanyaku lebih rinci.

"Aku tidak begitu suka cara Alfred, dia terlalu kaku" jawabnya datar.

"Kepala asramamu itu?" tanyaku hati-hati.

"Iya, anak dari Banyuwangi" jawab Reno dengan raut masih kesal.

"Mungkin masih butuh adaptasi Ren." ucapku sambil menepuk pundaknya.

"Tidak juga Rick. Sekarang sudah tiga bulan. Caranya mendisiplinkan anggota asramaku kadang keterlaluan. Tidak semua masalah harus dilaporkan ke Pengurus OSIS. Bahkan beberapa hari lalu Fahmi hampir memukulnya."

Teacup yang ada ditanganku hampir terjatuh usai mendengar cerita Reno. Separah itukah kondisi asrama mereka? Berkelahi sesama pengurus adalah pelanggaran serius. Bisa-bisa dua-duanya dikeluarkan dari sekolah.

"Kadang kami tidak lagi ingin menghargainya sebagai Kepala Asrama. Seharusnya dia bisa lebih bijaksana." Reno melanjutkan ceritanya. Aku mengangguk-nganggukan kepalaku, bingung mau berkomentar apa.

Kerjasama tim memang berat bila tidak saling menghargai. Kami semua satu angkatan, kami tidak bisa saling memerintah, tidak bisa saling menghukum, sementara mengurusi asrama adalah tugas bersama. Ibarat roda kendaraan, apabila satu tidak berfungsi maka roda itu akan menjadi beban.

"Rick, kamu ingat saat kita terlambat absen malam kelas 3 SMP dulu?" tanya Reno sambil menatapku.

"Iya, aku ingat." jawabku dengan senyum getir. Waktu itu aku pulang terlambat karena asik pacaran sama si Fikri. Sebenarnya aku tidak ingin mengingatnya.

"Kita tidak pernah dilaporkan kakak pengurus asrama kita kan? Mereka dapat menyelesaikannya di tingkat asrama. Karena itu hanya pelanggaran ringan, tidak perlu diteruskan ke Bagian Keamanan, kasihan bila hanya masalah kecil dibawa sejauh itu." lanjut Reno tanpa menyadari perasaanku yang rada kesal dia mengingatkanku lagi dengan Fikri.

"Emang Alfred melaporkan anggota ke Bagian Keamanan?" tanyaku penasaran.

"Iya, ada anggota asramaku yang telat pulang, kebetulan dia dari Makasar satu daerah sama Fahmi. Selaku Pengurus asrama Fahmi sudah benar memberikan hukuman kepada anak itu, tapi ketika Alfred mengecek buku hitam asrama (daftar pelanggaran dan hukuman yang diberikan) dia beranggapan kalau Fahmi sengaja memberikan hukuman yang ringan sama anak itu karena satu daerah. Nah, waktu anak itu terlambat lagi kebetulan yang piket jaga si Alfred, dia langsung menyerahkan nama-nama anak yang terlambat ke Bagian Keamanan.  Tentu saja Fahmi jengkel, mereka hampir berkelahi. Semenjak itu hubungan kami semua sama si Alfred jadi tidak hangat lagi. Kelihatan banget dia cari muka sama Bagian Keamanan. Bukannya melindungi anggota binaannya tapi malah mengorbankannya."  lanjut Reno panjang lebar.

Memang Alfred keterlaluan bila melaporkan masalah kecil seperti itu ke Bagian Keamanan. Sebenarnya bisa saja anak-anak yang melanggar ringan cukup diberikan hukuman oleh pengurus asramanya saja, karena bila sudah sampai kepada Bagian Keamanan OSIS hukumannya bisa digunduli kepalanya. Bila sudah gundul bisa-bisa tidak naik kelas, karena anak-anak yang dihukum gundul oleh Bagian Keamanan sudah dicap nakal, dan itu akan mempengaruhi nilai kenaikan kelas.

Di sekolah ini selain nilai akademik, nilai-nilai perilaku sangat besar pengaruhnya. Bila perilaku mendapat predikat "C" sudah dipastikan tidak naik kelas. Hampir semua anak yang dihukum gundul nilai perilakunya "C".

Reputasi siswa gundul juga buruk. Di mata para guru dianggap anak tidak baik, apalagi walikelas, mereka tidak akan memperjuangkan nilai-nilai akademik kita bila tidak memenuhi standar kenaikan kelas, apalagi nilai perilakunya juga sudah dikasih C.

Itulah mengapa pengurus asrama jarang melaporkan hal-hal kecil ke Bagian Keamanan. Wajar saja Reno dan pengurus lainnya tidak terlalu suka dengan Alfred.

"Si Cahyadi itu bagaimana?" tanya Reno yang kelihatannya sudah selesai berkeluh kesah.

"Enak anaknya. Kami jarang ngobrol. Tapi komunikasi di asrama kami cukup lancar, meskipun kami sudah beberapa kali dihukum bersama-sama."  jawabku sambil mengingat ketika kami dihukum oleh hampir setengah lusin bagian yang ada di OSIS.

"Oh iya, kalian sudah dipanggil bagian apa saja?" tanya Reno yang sekarang sudah lebih ceria, kelihatannya dia senang mendengar kami dihukum berjamaah. Memang pengalaman dipanggil pengurus OSIS menjadi topik yang asik dibicarakan, kadang lucu bila diingat-ingat, tapi cemas dan tegang pada saat mengalaminya.

"Bagian Dapur. Ada anggota asrama kami yang ketahuan membuang nasi, kami semua pengurus asrama dipanggil ke Bagian Dapur jam sebelas malam. Itu panggilan pertama dari Pengurus OSIS, aku cemas banget Ren." jawabku dengan semangat. Reno tertawa cengengesan mendengar ceritaku.

"Ketua Bagian Dapur marah-marah, sambil teriak-teriak pula. Kami semua cemas, soalnya dia pake mukul-mukul meja pake tangkai sapu segala, bahkan tangkai sapunya sampai patah. Hampir setengah jam kami mendengar omelannya, hahahaha. Si Yanuar malah hampir nangis, karena dibentak-bentak sama kakak itu." ceritaku sambil mengingat kejadian malam itu. Sebenarnya aku juga cemas sekali, mungkin kalau aku yang dibentak akan sama juga kayak si Yanuar.

"Yanuar itu memang cengeng Rick. Di kelasku dia memang sering gagap juga." sela Reno sambil tertawa kecil. Aku baru ingat kalau mereka sekelas.

"Terus kalian dihukum apa?" tanya Reno penasaran.

"Kami disuruh membersihkan dapur kotor, tempat mbokdapur masak, sampe jam setengah satu malam loh. Padahal kan ada petugas kebersihannya." jawabku kesal.

"Namanya juga hukuman." ucap Reno asal saja. Kelihatannya dia setuju kami dihukum begitu.

"Tapi aku malah disuruh merapihkan arsip dan buku-buku. Nggak banyak sih, kebanyakan buku-buku gede, kayaknya isinya daftar nama-nama siswa dan buku induk pembayaran uang makan." ceritaku kepada Reno yang masih saja cengengesan. Mungkin dia sedang membayangkan kami dihukum sesuai dengan imajinasinya.

"Ketua Bagian Dapur yang ngasih kamu tugas tambahan ngerapihin arsip?" tanya Reno yang entah kenapa penasaran banget dengan hukuman kami.

"Bukan, temannya. Pengurus Bagian Dapur juga. Aku tidak tau namanya, agak hitam anak nya." jawabku datar.

"Oh, itu si David, temanku. Kami satu klub sepak bola" ucap Reno girang.

"Kenapa kamu jadi happy begitu?" tanyaku penasaran.

"Dia itu yang suka nanyain kamu tahun lalu. Ingat nggak? Yang aku bilang teman klubku sering nanya-nanya tentang kamu." jelas Reno lagi.

"Nggak ingat." jawabku malas. Reno tertawa mendengar jawaban dengan raut mukaku yang kesal.

"Apa mungkin dia sengaja kali Rick, dia ikut nemenin kamu nggak nyusun arsip?" anak Padang ini bertanya dengan penuh bahagia. Dasar Reno.

"Kapan lagi bisa berdua saja sama bintang kampus, pasti begitu tuh pikiran si David. Dia memang rada mesum." Reno menjawab sendiri pertanyaannya. Aku diam saja.

"Terus kalian sudah dipanggil bagian apa saja?" aku balik bertanya kepada Reno yang akhirnya berhenti menghayalkan aku dan David.

"Banyak banget. Bersih Lingkungan sudah, Bagian Dapur sudah, Bagian Kesehatan sudah, Bagian Pramuka sudah dan Bagian Keamanan." jawab Reno, anak ini terlihat lesu ketika mengucapkan bagian yang paling akhir tadi.

"Bagian Keamanan?" tanyaku terkejut. Reno Mengangguk.

Aku rada cemas mendengarnya. Kami belum pernah dipanggil Bagian Keamanan, dan kalau bisa jangan sampai dipanggil. Seluruh teman-temanku sesama pengurus berusaha sekuatnya agar semua rutinitas asrama kami sesuai dengan aturan dan standar Bagian Keamanan.

Bagian Keamanan adalah pemegang otoritas paling tinggi dalam menegakkan disiplin. Tentu berurusan dengan mereka bukanlah pilihan yang bijaksana. Meskipun di sekolah ini dilarang hukuman fisik, berdasarkan rumor yang beredar bagian ini masih tetap mempraktekkannya. Mereka punya teknik sendiri bagaimana cara menggunakan hukuman fisik tanpa meninggalkan bekas yang berarti.

Jadi kalau dipanggil Bagian Keamanan, mau salah atau tidak rasanya akan sama saja. Mirip-mirip ketika diberhentikan Polisi Lalu Lintas, ada saja yang kurang lengkap. Mungkin surat-surat terkait kendaraan bermotor sudah lengkap, ketika diperiksa ternyata kaca spionnya retak, itu sudah cukup untuk mendapatkan surat tilang. (kira-kira begitu).

"Itu semua gara-gara si Alfred". lanjut Reno, yang sengaja berhenti sejenak memberi kesempatan padaku untuk membayangkan betapa menakutkannya Bagian Keamanan itu.

"Masalah anak yang se-daerah sama Fahmi itu?" tanyaku penasaran.

"Salah satunya. Dia melaporkan nama-nama yang tidak absen malam, akibatnya semua pengurus temasuk dia dihukum. Selain itu juga disebabkan masalah lain juga." tambah Reno.

Aku mengangguk-nganggukkan kepalaku tanda aku mendengar dan Reno dapat melanjutkan ceritanya.

"Pada waktu evaluasi mingguan asrama kami, Alfred bekerja sendiri saja, kelihatannya dia tidak percaya sama kerja kami, padahal kepala asrama itu tugasnya cukup mengkoordinir saja, serahkan sama 20 orang pengurus yang ada untuk menyelesaikan. Akhirnya evaluasi kami tidak sampai target." dengan nada kesal Reno melanjutkannya lagi.

"Berarti dia tidak punya leadership dong" ucapku sama kesalnya dengan Reno. Kok bisa dia jadi Kepala Asrama. 

"Aku heran kenapa dia dipilih ya Ren?" tanyaku pada rumput yang bergoyang (hahahaha, mau tanya ke Reno pasti dia juga nggak tahu)

"Mungkin karena badannya gede kali" jawab Reno asal saja

"Iya, mukanya juga boros. Waktu pembagian kepengurusan asrama awal tahun lalu aku saja terkejut, tampangnya sudah kayak om-om" celetukku sambil tertawa mengejek.

"Hahahaha, bener banget Rick, kamu bukan orang pertama yang ngomong begitu, banyak kok" balas Reno dengan cara yang sama.

Kami melanjutkan obrolan kami sore itu, sambil mengisi waktu istirahat sebelum melanjutkan rutinitas masing-masing. Reno memberitahuku bahwa mereka dihukum push up dua puluh kali. Awalnya aku beranggapan itu hukuman yang ringan, tapi begitu Reno menjelaskannya detailnya lagi membuat aku menelan ludah.

Bagian Keamanan mempermainkan hitungannya. Ketika dia menghitung satu, Reno dan teman-temannya menurunkan dada beberapa centimeter dari lantai, kakak Bagian Keamanan lalu membaca buku dan ngobrol, dia melanjutkan hitungannya dua menit kemudian, dan begitu seterusnya. Aku bisa membayangkan betapa capeknya. Semoga saja asrama kami tidak mengalami hal serupa.


Aku dan Reno akhirnya dapat kabar bahwa Idris tidak bisa hadir, dia masih sibuk melatih drama, anak didiknya menyampaikan pesan itu pada kami. Aku dan Reno saling pandang dan tertawa, dia yang paling muda tapi sudah jadi ketua klub, sudah jadi bos sekarang. Kami turut bangga dan bahagia.

Memang aktivitas anak itu lumayan padat. Selain pengurus asrama dia juga menjadi pelati di klub teater sekolah. Banyak siswa-siswa baru yang mendaftar eskul teater, sebagai Ketua Klub teater, anak Ambon itu bertanggungjawab atas kelancaran dan keberlangsungan klub drama satu-satunya di kampus kami.

Aku dan Reno memandangi hamparan rumput di halaman depan ruang makan dari pondok jerami yang sudah menjadi markas kami dari masa-masa anak baru dulu. Beberapa kali siswa-siswa junior lewat dan mereka dengan sopan menyapa kami. Aku melirik Reno yang tertawa melihat adik-adik kelas kami itu. Mungkin apa yang ada di pikiran Reno hampir sama denganku. Kami mengingat masa-masa dimana kami masih sangat kecil, suka melanggar, konyol dan urakan, kadang juga kagum dengan kakak kelas kami yang jadi pengurus asrama dan pengurus OSIS.

Hari ini kami ada di sini, di tempat yang biasa, di tempat yang sama, hanya kami berbeda. Kami bukan lagi anak-anak polos yang dulu masih suka bermain-main. Kami siswa kelas 2 SMA, yang sudah semakin dewasa. Aku berdiri diikuti oleh teman lamaku ini, meninggalkan pondok jerami menuju tugas kami masing-masing.

*****************

Kurebahkan tubuhku di atas ranjang. Malam ini aku bisa beristirahat, setelah melaksanakan aktivitasku yang padat. Sepanjang hari ini Leo mencariku. Aku sengaja mengabaikannya, bahkan ketika berpapasan aku sengaja menghindar. Kekesalanku pada anak itu sudah memuncak.

Emangnya dia siapa? Berani-beraninya bertanya tentang Fikri. Aku bisa saja menghukumnya semauku, tapi aku tidak akan melakukannya. Bukan karena kasihan (mengingat latar belakangnya), tapi menurutku ini masalah pribadiku. Lagian tidak ada aturan yang dilanggar anak itu.

Bagiku anak ini sudah terlalu lancang. Kejadian pagi tadi, di saat banyak anak-anak asrama bersantai memanfaatkan liburan akhir pekan Leo menghampiriku. Aku tidak terlalu mempedulikannya, karena ruang rekreasi lumayan rame, jadi sah-sah saja dia duduk di sofa yang sama denganku, toh di samping kiri juga ada anak lainnya.

Dia menyapaku, aku membalas seperlunya (aku sedang membaca koran saat itu, dan menurut papa orang tidak suka diganggu bila sedang baca koran, dan aku setuju dengan pendapat itu). Akhirnya aku menyerah juga dan melayani obrolannya. Awalnya hal remeh temeh terkait masalah-masalah ringan di asrama, semakin lama masuk pada hal-hal yang bersifat pribadi. Tentu saja terkait denganku, karena anak ini pintar sekali mengarahkan pembicaraan, awalnya aku ingin mengulik lebih dalam tentang dirinya tapi tidak pernah dapat informasi baru, masih tetap sama dengan info yang lalu, tentang latar belakang keluarganya. Tampaknya dia tertutup dengan masalah pribadinya.

Aku bisa saja cuek dan meninggalkannya sendiri, tapi statusku sebagai pengurus asramanya tentu tidak elok berbuat demikian. Kami harus mampu mengayomi, bersikap sopan dan ramah (lama-lama seperti pramugara di pesawat).

Tapi pertanyaannya tentang Fikri sudah kelewat batas. Aku masih bisa mentolerir Reno mengungkit tentang Fikri (meskipun kelihatannya dia tidak sadar) karena dia temanku. Tapi untuk Leo, dia hanya anggota asramaku, malah bisa saja aku menganggapnya anak buahku. Itu sudah melewati batas, aku tidak dapat menerimanya.

Aku meninggalkannya menuju kamarku, kamar pengurus asrama yang tentu saja tidak dapat dimasuki sembarang orang, apalagi anggota asrama. Aku sempat mendengar permintaan maafnya (rasanya itu yang pertama keluar dari mulutnya), aku tidak menggubris kata-kata itu. Sudah cukup.

Malam ini aku masih kesal. Masa laluku dengan Fikri sudah aku kubur. Aku tidak ingin kembali lagi dalam masa-masa suram tahun lalu. Aku ingin memulai lembaran baru. Aku sadar hubungan seperti itu tidak akan bertahan selamanya, apalagi saat ini umurku sudah hampir 17 tahun. Aku sudah cukup dewasa untuk mengambil keputusan-keputusan yang menurutku masuk akal dan rasional.

Aku masih mencintai Fikri, Aku masih pacarnya. Tapi untuk mengingatnya sama saja membuka luka yang lama. Bukan hal mudah bagiku bangkit dari keterpurukan, beberapa kali aku harus jatuh bangun melanjutkan hidupku di kampus ini. Dengan susah payah pula aku belajar melupakannya. Teman-temanku yang tersisa juga sudah mengerti bahwa aku tidak ingin bicara tentang Fikri.

Bahkan ketika liburan sekolah, mama dan papa bertanya tentang Fikri, aku tidak menjawabnya sama sekali. Akhirnya mereka juga tidak bertanya lagi. Aku tahu mama dan papa bertanya tentang dia bukan karena mereka tahu kami pacaran, tapi papa dan mama tahu Fikri adalah sahabatku, apalagi dia pernah menginap beberapa hari selama liburan.

Sebenarnya aku punya kesempatan menemuinya ke Bekasi bila aku ingin apalagi saat itu sedang liburan sekolah, tapi aku tidak mengambil kesempatan itu. Untuk apa? Tidak ada alasan bagiku melakukannya. Fikri tidak pernah menghubungiku lagi, hampir satu tahun setelah kejadian itu.

Dulu aku begitu ingin mendengar penjelasan, tapi saat ini aku tak butuh lagi. Aku tidak ingin tahu, aku telah menjadikan itu masa lalu. Anggap saja itu jembatan yang harus aku lewati hingga menuju pemberhentian terakhirku. Aku pernah berkata, mungkin aku tidak bisa melupakannya, tapi setidaknya aku akan belajar untuk tidak mengingatnya.

"Rick, ada anggota yang cari kamu" sambil berdiri di pintu kamar Yanuar memecah lamunanku.

"Siapa?" tanyaku datar.

"Leo, anak kamar 207." jawab Yanuar sambil meninggalkan kamar sebelum aku sempat menjawab lagi.

Aku keluar dari kamarku. Jam di tanganku menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Leo bediri di depan kamarku dengan wajah tidak biasa, tampak cemas dan takut. Ini pertama kalinya aku melihatnya sama seperti anggota asrama lainnya, yang punya rasa canggung, cemas dan takut dan juga mungkin sedikit rasa hormat. 

Aku berdiri cukup lama memandangi anak itu. Dia tidak tersenyum, tapi menunduk. Kali ini dia berbeda, aku dapat memandanginya sepenuhnya. Dia tidak berantakan seperti biasanya. Dengan menggunakan kaos biru dongker dan celana pendek selutut berwarna biru muda, dia tampak rapi. Berkulit kuning terang, hidungnya mancung, rambut hitam dengan style spike, giginya putih dan rapi, bermata cokelat gelap, posturnya slim  dan lebih pendek bebrapa centi dariku. Aku baru menyadari bahwa siswa kelas 3 SMP ini anak yang manis.

Mungkin perilakunya yang bikin aku kesal sehingga aku tidak menyadari ketampanannya, atau karena aku sudah tidak berminat lagi menilai ketampanan seseorang, setelah kepergian Fikri? Entahlah. Aku ingin tertawa ketika melihat dia masih pada posisi diam begitu dengan jangka waktu yang cukup lama, biasanya dia akan memaksaku bicara bila aku diam begini.

Padahal aku berencana akan memarahinya, meluapkan emosiku yang sudah aku tahan semenjak kejadian pag tadi. Tapi entah kenapa aku lagi-lagi mengurungkan niatku itu. Mungkin karena aku baru sadar dia tampan (hahahahha, mulai lagi mesumnya), atau karena perubahan sikapnya yang tiba-tiba? Tampaknya yang kedua lebih masuk akal. 

"Ada apa Leo?" tanyaku ramah. Mengingat anak ini sudah menunduk seperti itu, menurutku dia sudah menyesal dengan pertanyaannya tadi pagi.

"Maaf kak, kejadian tadi pagi itu sudah kelewatan." jawabnya lirih. Anak itu masih menunduk. 

Aku masih menatapnya, dia sama sekali tidak berani membalas tatapanku. Kali ini aku benar-benar leluasa memandangi adik kelas ku ini.

"Kita ngobrol di ruang rekreasi saja" ucapku sambil berjalan melalui koridor yang di kiri kanannya terdapat pintu-pintu kamar anggota asrama.

Leo diam tidak menjawab. Tapi dia mengikutiku hingga ruang rekreasi. Kami duduk di sofa yang sama seperti tadi pagi. Udara malam yang masuk melalui celah-celah jendela terasa begitu dingin. Hanya tersisa sedikit siswa di ruang rekreasi, kelihatannya mereka mengerjakan tugas sekolah. Hmmm, mengapa tidak dikerjakan tadi pagi, mentang-mentang hari Minggu jadi banyak mainnya gerutuku dalam hati.

"Aku menyesal menanyakannya." ucap Leo masih dengan nada yang sama.






Suasana terasa sunyi, aku masih diam. Begitupun Leo yang masih saja menunduk. Aku menarik nafas panjang.
 
"Kami banyak menghabiskan waktu bersama, terutama saat masa-masa ujian nasional." Entah mengapa kata-kata itu mengalir begitu mudahnya. Tidak ada rasa sakit ketika mengingat kembali masa-masa itu. Leo tampak terkejut dengan kata-kataku. Meski terlihat jelas ketertarikannya dengan ucapanku tadi.

"Aku belum pernah merasakan rasa sayang yang begitu dalam. Bahkan, aku ingin ketemu lagi padahal baru saja berpisah sesaat. Berdua dengan Fikri adalah hal yang membuat aku bersemangat sekolah di sini. Kamu tahu Leo, justru aku pusing bila masa liburan tiba, kadang aku merasa berdosa seakan-akan aku tidak rindu papa dan mama, tapi bagiku Fikri itu segalanya." lanjutku lagi.

Leo mendengar seakan-akan dia sudah tau apa yang ada di pikiranku, dugaanku dia lebih dewasa dari usianya. Aku tidak pernah bercerita tentang cintaku pada orang yang usianya di bawahku (kecuali Idris, itupun aku anggap kami seumuran). Ini pertama kalinya. Terasa lega, aku bukan berkeluh kesah, tapi lebih seperti menceritakan pengalamanku.

"Kami tidak pernah benar-benar jadian seperti orang pacaran pada umumnya. Kami juga tidak tahu semenjak kapan kami resmi pacaran. Yang aku tahu bahwa aku mulai tertarik padanya mulai dari kelas satu itu. Kamu pernah mendengar ceritanya?" tanyaku pada Leo tanpa berharap jawaban. Anak itu menggeleng.

"Di Aula saat MOS, kami saling curi pandang. Saat itu aku belum tahu Fikri sengaja duduk di situ. Belakangan setelah kami jadian baru dia menceritakannya."

Leo tampak menikmati ceritaku. Dia sering tersenyum sendiri, barangkali sedang berkhayal dalam imajinasinya. Untuk itu aku melewatkan bagian-bagian mesumnya, kasian anak ini harus berimajinasi sejauh itu.

"Awalnya pertemuan-pertemuan kami lebih banyak tidak direncanakan. Lucu kalau diingat ketika aku dan teman-temanku berencana menemuinya di kolam renang, rencana konyol yang gagal total. Justru kami bertemu di kamarku sekembali dari kolam renang. Kami juga pernah pernah bertemu depan toilet sekolah dan kesempatan-kesempatan tak terduga lainnya."

Leo senyum-senyum sendiri mendengar ceritaku. Bahkan ketika aku bercerita tentang ciuman pertama kami, dia malah tertawa. Padahal aku sudah menggambarkannya seromantis mungkin.

Aku tidak tahu entah mengapa aku sangat menyukai tawa anak ini. Ya, ini adalah tawa lepas pertamanya di depanku. Tawa yang tanpa beban. Aku dan Leo menghabiskan waktu di ruang rekreasi hingga larut malam. Kenangan demi kenangan aku ceritakan kepada anak yang belum terlalu lama aku kenal itu.

Entah mengapa semakin banyak yang aku ceritakan semakin ringan perasaanku, apakah efek ini akan bertahan selamanya atau justru hari-hari esok aku akan kembali merana seperti tahun lalu. Lembar-demi lembar perjalananku dengan Fikri aku sampaikan, aku menikmati bercerita sembari mengamati reaksi wajah Leo, yang kadang serius, kadang cemas dan kadang tersenyum juga tertawa. Tawanya yang benar-benar bikin aku menyukainya.

"Kakak masih mencintainya?" tanya Leo setelah kami diam dalam waktu yang cukup lama.

Aku memandang Leo, anak ini hanya lebih mudah satu atau dua tahun dariku, tinggi badannya hanya kurang beberapa centi. Mata Leo juga menatapku, dia menunggu jawaban atas pertanyaannya tadi. Aku tidak tahu hubunganku dengan anak ini apakah antara kakak pengurus asrama dengan anggotanya, ataukah kami ini seperti teman sebaya.

Dia lebih muda dariku, adik tingkatku dan juga anggota asramaku, tapi dia cukup dewasa untuk menjadi temanku. 

"Sudah malam, besok kita akan sekolah. Sebaiknya kita istirahat." kata-kata itu yang keluar dari mulutku. Tidak tahu bagaimana otakku memprosesnya hingga terbentuk kalimat itu, yang menurutku lumayan bijaksana diucapkan sebagai jawaban pertanyaannya tadi.

"Baik kak Ricko, selamat istirahat." jawab Leo sambil berdiri dan berjalan menuju kamarnya.

Aku duduk beberapa menit memikirkan banyak hal yang terjadi belakangan ini sampai Yanuar duduk di sampingku membawa absensi siswa. Kelihatannya dia piket jaga malam ini.

Aku meninggalkannya menuju kamarku, pikiranku masih melayang. Mengenang masa-masa indah bersama Fikri, dan persaan aneh terhadap Leo. Aku akan membiarkan pikiranku beristirahat sejenak, melepaskannya dari banyak beban, dan besok aku akan memulai hari baru, dan mungkin hubunganku dengan Leo akan berbeda. Sesaat tawanya kembali muncul dipikiranku.






Bersambung





















3 comments: