Jumat, 30 November 2018
Episode 14
Para
remaja belasan tahun duduk dalam barisan dengan tertib dan rapi. Aula Pertemuan
ini terasa begitu sunyi, padahal ada 202 orang siswa kelas XI di dalamnya,
termasuk aku, Reno dan Idris. Kami berada dalam satu barisan, suasana hening
dan tegang, tak ada satupun siswa yang menoleh kiri kanan seperti
pertemuan-pertemuan biasanya, tak ada juga suara hiruk pikuk dan bisik-bisik
dari para siswa yang terdengar. Semua fokus dan pandangannya satu arah ke
depan, tepat kepada seorang pria berperawakan tegap dan berambut cepak, berumur
empat puluhan, dia adalah Pak Armen, Kepala Pengasuh. Di samping kirinya
berdiri Pak Romi, aku ingat beliau adalah staf Pengasuh di kampus ini, dia dari
Pacitan dan punya tampang galak, dan tentu saja semua yang ada di ruangan ini
tidak akan berharap untuk berurusan dengan kedua orang itu, kecuali hari ini.
Hari
ini adalah hari paling bersejarah dalam kehidupan berasrama kami. Tahun ini
kami semua telah menjadi siswa kelas XI, siswa senior, dan tepat hari ini
sebagian dari siswa kelas XI yang ada dalam ruangan ini akan mendapatkan tugas
tambahan baru, yaitu sebagai pengurus asrama. Tanggung jawab ini merupakan
proses pembelajaran kepemimpinan di Sekolah ini. Kami semua berharap dapat
menjadi bagian dari kepengurusan asrama, meskipun hanya setengah dari kami yang
akan dipanggil.
Gosip
dan informasi intelejen telah beredar beberapa hari ini. Informasi itu menyebar
begitu cepat di kalangan siswa kelas XI, Semuanya masih simpang siur dan kadang
berubah-ubah. Di antara kami tentu saja menjadi pengurus asrama adalah suatu
kebanggaan, apalagi kalau jadi kepala asrama, maka akan lebih bangga rasanya.
Namun dengan jumlah 14 asrama yang tersedia tentu hanya 130 an siswa saja yang
akan ditunjuk sebagai pengurus, sisanya akan menjadi pengangguran, begitu
umumnya siswa menyebut kelas XI yang bukan pengurus asrama.
Jabatan
pengurus asrama begitu diminati karena pengurus asrama mendapat fasilitas
khusus, baik kamar, kantor, kamar mandi dan fasilitas-fasilitas lainnya. Selain
itu juga pengurus asrama mempunyai wewenang dan tanggung jawab untuk membina
dan mengurusi siswa di luar jam sekolah, mulai dari bangun tidur hingga tidur
lagi.
Selain
fasilitas, Pengurus asrama juga mendapat perlakuan khusus, terutama dari para
junior dan anggota asrama. Seluruh siswa kelas X ke bawah harus berperilaku
sopan dan santun terhadap pengurus asrama bila tidak mau dihukum, selain itu
pengurus asrama juga dapat menghukum seluruh anggota yang ada di asramanya
masing-masing.
Menjadi
pengurus asrama adalah bagian tak terpisahkan dari pendidikan di sekolah ini,
sebagaimana pesan Direktur dan Kepala Sekolah, pendidikan tidak hanya
didapatkan dari pelajaran di kelas, tapi juga dari semua aspek yang ada di
kampus ini, bahkan tidur pun ada nilai pendidikannya. Dulu aku sempat tidak
percaya tidur ada pendidikannya. Belakangan aku baru paham ternyata yang
dimaksud tidur ada pendidikannya adalah bagaimana kita bisa memanfaatkan waktu
tidur secara efektif, karena hal itu akan menjadi kebiasaan setelah keluar dari
sekolah ini, setidaknya itu menurut pemahamanku saat ini.
Bicara
tentang tidur, dengan menjadi pengurus asrama waktu tidur akan semakin sedikit.
Seorang pengurus asrama tidur sedikit lebih lambat dari siswa pada umumnya.
Karena pengurus asrama harus mengecek anggota-anggota asramanya mulai dari
mengabsen setiap kamar, berkeliling mengawasi kondisi anggota, mengecek seluruh
sudut asrama dan tugas-tugas lainnya. Bila semua sudah beres dan aman, baru
pengurus dapat tidur. Selain itu sekali dalam seminggu pengurus asrama akan
berjaga tidak tidur sampai pagi, menjaga kondisi asrama dari berbagai macam
gangguan.
"Rick,
namamu dipanggil tuh! ayo buruan maju" Ucap Reno mengejutkanku. Aku tidak
sadar ternyata Pak Armen sudah mulai memanggil calon-calon pengurus asrama
satau per satu.
Dengan
sedikit canggung aku berdiri, sambil melirik ke kiri dan ke kanan, sebagian
siswa tampaknya sudah dari tadi memandangku, ada yang senyum-senyum, ada juga
yang bertampang sinis. Hmmmm, suasana yang sudah biasa. Perlahan aku berjalan
maju masuk dalam barisan teman-temanku yang sudah dipanggil pertama kali. Ada
sekitar 7 orang siswa, heran juga ternyata aku dipanggil lebih awal dari
dugaanku.
Hampri
2 jam kegiatan itu berjalan. Idris dan Reno pun sudah dipanggil ke depan. Kami
semua jadi pengurus asrama. Aku kebagian jadi pengurus di asrama Alhambra,
asrama yang pernah aku diami beberapa tahun lalu. Bersama 24 orang lainnya kami
akan menjaga 250 an siswa kelas VIII sampe kelas X, lumayan juga. Ada semangat
baru yang muncul, kebiasaan yang selama ini dilakukan oleh kami tentunya akan
sedikit berubah, maklum saja kami harus menjaga wibawa dan nama baik asrama
yang dengan susah payah diperjuangkan oleh pengurus-pengurus sebelum kami.
Dhani
Cahyadi, siswa kelas XI.C IPA dari Pekanbaru Riau yang menjadi kepala asrama
kami. Pada dasarnya dia bukan bos kami sih, karena siswa kelas XI tidak
membawahi sesama siswa kelas XI, Kepala asrama hanya mengkoordinir kami semua
untuk mengurus siswa yang ada di asrama ini, dan menjadi penanggungjawab
terhadap seluruh anggota asrama yang kami bina. Aku tidak terlalu kenal dengan
Dhani, meski beberapa kali aku pernah bertemu dengannya. Sekilas tampak anak
itu cukup smart dan kalem, selebihnya akan aku nilai berjalan dengan
waktu.
Sebelum
kami bubar, Pak Armen memberikan wejangan kepada kami, terutama tentang
bagaimana kami harus mampu menjadi tim yang baik dan kompak.
"Kuncinya
ada di komunikasi antar pengurus" jelas Pak Armen.
"Semua
siswa kelas XI punya banyak tugas, sebagian besar dari adik-adik semua adalah
anggota inti di klub olahraga, kesenian, bahasa dan klub-klub lainnya. Selain
itu juga ada yang merangkap menjadi pengurus perwakilan daerah, belum lagi ada
juga yang menjadi ketua kelas. Jadi dengan banyak kesibukan dapat menambah
stres akibatnya akan susah mengontrol emosi." sambung Pak Armen.
Dengan
antusias seluruh siswa yang terpilih jadi pengurus asrama mengangguk-anggukan
kepalanya, sebagian siswa yang tidak terpilih tampak tidak memperhatikan,
mungkin ada rasa kecewa dalam diri mereka. Aku pun akan berperasaan sama bila
tidak terpilih, tapi gimana lagi, tidak mungkin semuanya bisa jadi pengurus,
toh dalam kehidupan sehari-hari proses seleksi adalah hal yang akan kita hadapi
sehari-hari.
"Maka
itu dalam mengelola asrama dibutuhkan keterbukaan antar pengurus. Kepala Asrama
tidak boleh membuat kebijakan seenaknya, harus dimusyawarahkan antar sesama
pengurus. Bila ada yang tidak berkenan harus menyampaikannya dalam rapat-rapat
pengurus, agar tidak saling dongkol. Selain itu harus mampu menjaga rasa di
antara adik-adik sekalian. Yang sedang bertugas jaga harus melaksanakannya
dengan sebaiknya. Seperti yang adik-adik ketahui, Bagian Keamanan OSIS tidak
akan segan menghukum seluruh pengurus asrama meski yang lalai hanya satu atau
dua orang saja. Ini bertujuan untuk mendidik adik-adik sekalian agar
bertanggung jawab dengan tugas yang diamanahkan." jelas Pak Armen lagi.
Aku
dan beberapa siswa saling pandang mendengar penjelasan itu, seakan-akan kami
semua merasa kurang puas bila kami harus dihukum hanya karena keteledoran
beberapa orang.
"Jangan
kecewa dulu" tambah Pak Armen, yang entah mengapa seakan tau apa yang
sedang ada di pikiran kami.
"Itu
sebabnya adik-adik harus mampu membangun komunikasi yang baik antar pengurus.
Bila semua pengurus kompak, komunikasi lancar dan leadership Kepala Asramanya
juga kuat, maka adik-adik akan mampu mengelola asrama tanpa banyak kendala dan
masalah." tambah Pak Armen lagi.
Aku
sangat setuju dengan arahan Pak Armen. Membayangkan 25 orang harus bekerjasama
dalam tim untuk mengurusi 250 anggota yang masing-masing punya watak
berbeda-beda tentu tugas yang sangat berat. Selama menjalani kehidupan asrama
aku sudah merasakan bagaimana hubungan antar sesama teman kamar yang jumlahnya
hanya 4 orang. Kadang kami saling diam, tersinggung dan bahkan pernah juga
berkelahi. Apalagi kalau jumlahnya 25 orang, tentu lebih rumit lagi
hubungannya.
"Dan
satu hal yang paling penting, Yayasan melarang adik-adik menghukum anggota
asrama dengan hukuman fisik atau hukuman lainnya yang dapat menyebabkan cedera
fisik" kali ini raut Pak Armen tampak lebih serius ketika menjelaskan
aturan ini.
"Pimpinan
Yayasan sangat menekankan hal ini. Bila ada yang kedapatan main pukul atau
menghukum anggota sampai menyebabkan cidera, hukumannya sangat berat. Bapak
Direktur sudah menyampaikan, yang main pukul akan dikeluarkan dari sekolah
dengan tidak hormat." jelas Pak Armen.
Kami
bergidik mendengarnya. Dikeluarkan pada saat-saat seperti ini bukan pilihan
yang bijaksana. Aku jadi teringat cerita Dion beberapa tahun silam, tentang
pengurus yang dikeluarkan dari sekolah karena menganiaya anggota asrama atau
pengurus lainnya, aku lupa persisnya, yang jelas pengurus itu dikeluarkan dari
sekolah.
Akhirnya
setelah hampir 30 menit arahan Pak Armen kami dapat bubar dan kembali ke asrama
kami masing-masing. Aku, Idris dan Reno ngobrol sebentar membahas apa saja
kira-kira yang akan kami lakukan esok hari, hari pertama dimana kami akan
dipanggil "kak" oleh ratusan siswa binaan kami. Ada rasa bangga dan
juga rasa cemas, semua bercampur aduk jadi satu. Tapi setidaknya kami akan
mencoba berusaha untuk melaksanakannya dengan penuh tanggung jawab. Lagian,
kami juga sudah mulai dewasa.
*************
Aku
sedang mencatat nama-nama siswa yang belum pulang ke asrama hingga lebih dari
jam 10.00 malam. Dan lagi-lagi nama anak ini ada di daftarku. Aku masuk menuju
kamar 207 dan mengecek mungkin dia sudah pulang dan belum sempat melapor, tapi
hasilnya nihil. Tahun ajaran ini baru saja dimulai, tidak mungkin juga
walikelasnya memberikan jam belajar tambahan. Hmmm, memang kadang siswa kelas 3
SMP dan 1 SMA agak sulit diatur, apalagi sebagian dari mereka adalah
teman-teman sekamar kami tahun lalu.
"Kak?"
panggilan seseorang membuat aku terkejut. Entah sudah berapa lama aku tertidur
diatas tumpukan daftar yang tadi aku isi. Kulirik jam yang melingkar di
tanganku, pukul 12.01 dini hari.
Aku
menatap anak yang membangunkanku tadi dengan sedikit kesal, lalu menyodorkan
absen ke arahnya. Dengan tanpa rasa bersalah dia mengisinya, sekilas kulihat
dia tersenyum. Sebenarnya aku bisa saja menghukumnya dengan push up atau lari
keliling asrama, atau juga membersihkan toilet besok pagi. Tapi aku lebih
memilih mengabaikannya, mungkin disebabkan rasa kantukku atau juga akau belum
sepenuhnya sadar dari tidurku tadi.
"Kamu
dari mana?" tanyaku ketus.
"Belajar
kak" jawabnya tegas.
"Sampe
jam segini? Sama siapa?" tanyaku masih dengan nada yang sama.
"Sendiri."
jawabnya singkat.
"Kenapa
kamu tidak ijin dulu?" tanyaku kesal.
"Maaf
kak, aku malas pulang ke asrama dulu. Kalau sudah di asrama malah nanti
pengennya langsung tidur". jawabnya dengan sangat ramah.
Perlahan
kekesalanku mulai menurun, padahal aku ingin marah lagi "Jangan
bohonglah kamu, sekarang kan masih awal tahun ajaran, masa sudah belajar. UN
juga masih jauh. Saya dulu waktu kelas 3 SMP tidak sebegitunya, saya juga kelas
3B tau gak. Apalagi jawaban kamu yang malas pulang ke asrama dulu, kelihatan
banget kamu ini tidak patuh aturan dan sombong."
Kata-kata
itu sudah terangkai dalam kepalaku untuk dikeluarkan, alih-alih tersampaikan
malah yang keluar basi-basi norak yang gak jelas.
"Wah rajin banget, pantes kamu naik
kelas 3B"
Aku
saja malu mencerna kata-kataku tadi, apalagi anak ini. Ekspresinya tidak
mencerminkan dia merasa dipuji dengan kata-kata itu, malah kesannya dia tau aku
lebay.
"Ada
yang lain kak?" tanya anak itu, dan dia mengabaikan kata-kataku tadi
seakan-akan itu hanya angin lalu yang nggak penting.
"Cukup,
kamu bisa istirahat." jawabku datar.
"Terimakasih
kak" ucapnya, lalu meninggalkanku dengan setumpuk daftar yang tadi jadi
alas tidurku.
"Leo,
tunggu!" tiba-tiba saja mulutku berbunyi tanpa menunggu perintah. Aku
bingung mau ngomong apa.
"Iya
kak Ricko?" Leo menoleh.
"Jangan
diulangi lagi, setidaknya kamu harus belajar menaati aturan yang ada. Pengurus
yang lain mungkin akan menghukummu bila tidak absen malam. Kamu bisa masuk
kamarmu sekarang." ucapku dengan lancar. Leo sesaat tertegun, dia tidak
kesal tapi malah tersenyum.
"Iya
kak, aku hanya terlambat saat kakak yang piket jaga kok. Selamat malam."
ucapnya, meninggalkanku yang masih bingung mendengar jawabannya.
Aku
bergegas mengambil daftar hadir siswa dari bulan pertama dan mengeceknya satu
per satu, dan benar saja Leo tidak pernah terlambat, kecuali setiap kali aku
menjadi petugas piket. Apa dia sengaja? Kenapa dia melakukannya?
Pertanyaan-pertanyaan
muncul dalam benakku. Apakah aku tidak punya wibawa sehingga anggota asramaku
tidak takut melanggar bila aku yang sedang berjaga? Atau karena aku jarang
menghukum adik-adik asramaku menjadikan mereka tidak menggangapku?
Aku
sekali lagi membaca daftar-daftar itu. Kelihatannya tidak seperti dugaanku
tadi, karena hanya Leo saja yang melanggar dan siswa lain tidak. Artinya tidak
ada masalah dengan pribadiku sebagai pengurus. Lagian aku bukan tipe orang yang
gila hormat. Tapi untuk Leo yang selalu saja tidak absen malam, kenapa?
Entahlah. Mungkin dia punya alasan sendiri dan aku harus memberinya kesempatan
menjelaskannya ketika dia sudah siap.
"Mikirin
apa Rick?" Rangga berdiri di depan pintu kamar pengurus asrama. Dia nyaris
membuatku terkejut, semenjak kapan dia berdiri disitu, bikin kaget aja.
"Oh,
nggak ada. Cuma lagi merekap absensi. Kamu belum tidur?" aku balik
bertanya.
"Belum
ngantuk. Emang siapa yang terlambat tadi?" Tanya Rangga sambil berjalan ke
arahku.
"Oh,
Leo anak kamr 207". jawabku datar.
"Yang
dari Kalimantan itu ya?" tanya Rangga lagi.
"Iya.
Dia selalu tidak absen malam setiap kali aku jaga" ucapku ketus.
Rangga
tertawa. Dia duduk di sofa di samping meja pengurus.
"Kayaknya
dia anak baik. Beberapa kali aku keliling waktu piket dia ada di kamarnya.
Mungkin dia sengaja kali Rick" ucap Rangga sambil menguap.
"Nggak
mungkinlah. Ngapain sengaja melanggar dan ketahuan. Katanya sih dia dari
belajar, dan kayaknya dia gak bohong. Dia anak kelas 3B, wajar saja dia rajin
belajar." sanggahku.
"Sekarang
kan masih awal tahun, masa sih sudah belajar. Pasti dia bohong tuh. Apa mungkin
dia keluar kampus?" pernyataan dan pertanyaan Rangga bikin aku terkejut.
"Gak
mungkin lah, dia masih kelas 3 SMP. Dia tidak akan berani" belaku.
Rangga
terdiam, dia rada terkejut dengan jawabanku yang terkesan membela Leo. Aku
malah jadi salah tingkah, kenapa juga aku menjawab begitu. Bagaimana kalau
seandainya Leo benar-benar keluar kampus?
"Iya
juga sih, anak SMP nggak bakal berani melakukan pelanggaran berat begitu.
Apalagi kelas 3. Resikonya gede, kalau dikeluarkan susah mau cari sekolah yang
mau nerima."
Aku
mengangguk-ngangguk mendengar respon Rangga, temanku sesama pengurus asrama, walaupun
sebenarnya aku tidak terlalu peduli dengan ucapannya. Pikiranku masih penasaran
dengan aktivitas Leo.
"Rick,
masak mi isntan yuk. Aku laper nih" ucap Rangga menukar topik pembicaraan.
"Kamu
ambil air panas di dapur ya, soalnya kalau pake dispenser lama nunggunya, belum
lagi yang panas palingan cuma segelas." jawabku dengan penuh semangat,
jujur saja aku juga lapar apalagi sudah hampir jam 1 malam.
"Siap
bos. Kamu siapkan mie nya ya" ucap Rangga seraya berdiri mencari termos
air dan menuju dapur.
Kami
menghabiskan masing-masing 2 bungkus mie instan dan bercerita berbagai macam
hal hingga pukul 3 shubuh sebelum akhirnya Rangga tertidur di atas sofa di
ruang rekreasi asrama. Sedang aku harus berjaga sampai jam 5 pagi, karena
Pengurus yang piket malam tidak diperkenankan tidur hingga pagi. Tapi ada
gantinya, setidaknya aku tidak akan masuk kelas pada jam pelajaran pertama dan
kedua sebagai ganti tidurku tadi malam.
************
"Kok
nggak pada makan" tanyaku beberapa anggota asrama yang sedang santai di
ruang rekreasi.
"Kami
sudah kak, kakak belum makan?" salah seorang anak kelas 1 SMA balik
bertanya.
"Ini
baru mau makan" jawabku ramah. Aku sekarang sudah terbiasa dengan
keramahan, maklum aku kan pengurus asrama (GEER).
"Leo
belum makan kak. Ayo Leo bareng kak Ricko aja" celetuk anak kelas 1 SMA
tadi.
Leo
berdiri dari sofa dan menuju ke arahku. Aku rada kaget juga, aku baru sadar dia
ikut kumpul sama anak-anak itu, jadi nyesal nyapa mereka.
"Ayo
kak." ajak Leo sopan. Teman-temannya tersenyum cekikikan.
Aku
diam sesaat, memperhatikan anak ini, dengan pakaian yang seringkali berantakan.
Berkulit kuning terang, Hidungnya mancung, rambut hitam dengan style spike,
giginya putih dan rapi, bermata cokelat gelap, posturnya slim dan lebih
pendek bebrapa centi dariku.
"Ayo
kak, keburu belajar malam loh" ucap Leo lagi.
"Iya,
mari" ajaku meninggalkan asrama menuju ruang makan. Di belakang kami masih
terdengar suara cekikikan anak-anak yang tadi nongkrong di ruang rekreasi.
"Kenapa
kamu tidak makan bareng mereka?" tanyaku sekedar berbasa-basi. Aku menebak
anak ini akan menjawab dia tadi belajar dulu. hahaha.
"Aku
masih nulis surat tadi untuk ibu di rumah" jawabnya singkat.
"Oh
gitu. Ayah dan ibumu sering kesini?" tanyaku asal saja.
"
Gak pernah" jawabnya singkat.
"Sibuk
ya? Emang ayah dan ibu kamu kerja dimana?" tanyaku sambil menatap Leo.
Dia tidak membalas tatapanku, hanya berjalan beriringan dengan langkah yang tidak terlalu cepat.
"Ayah
sudah nggak ada, Ibu di rumah jaga toko dan adik-adik. Jadi ibu gak bisa
jenguk-jenguk ke sini, soalnya adik-adik gak ada yang jaga di
Banjarmasin." jawabnya lirih.
Perutku
berasa mual dan sesuatu yang berat seperti menghantam kepalaku. Ada perasaan
yang sangat tidak nyaman menjalar ke seluruh tubuhku. Aku malu dan merasa
bersalah telah bertanya hal yang sensitif kepada Leo.
Aku
berhenti, Leo pun ikut berhenti. Aku malu dengan diriku, kutatap wajahnya.
Tidak ada sedikit pun raut kesedihan di dalamnya. Tersirat ketegaran dan
ketabahan. Lalu dia tersenyum.
"Nggak
usah sungkan kak, Ayahku meninggal dari aku kecil kok. Ayo gih kita ke ruang
makan keburu telat belajar malamnya." Leo menarik tanganku.
Aku
menurut saja. Pikiranku masih melayang. Aku membayangkan semua anak-anak di
sekolah ini sama sepertiku yang masih punya papa dan mama. Ada rasa sesal dalam
diriku. Aku sudah belajar jauh dari orang tua hampir 5 tahun, tapi sikap
manjaku masih ada. Aku membandingkan kedewasaanku dengan Leo, mungkin belum ada
apa-apanya diriku ini. Melihat ketegarannya dalam menghadapi kenyataan hidup,
harus sekolah jauh dari ibunya, sementara ayahnya sudah meninggal dunia,
mungkin bila ini terjadi padaku, rasanya aku tidak akan sanggup.
Kami
makan malam tanpa banyak bicara lagi. Leo menyantap makanannya dengan lahap,
aku mamandanginya sambil tersenyum. Tidak ada beban dalam hidupnya, mungkin
kalau tidak tahu latar belakang keluarganya orang akan beranggapan dia tidak
punya masalah apapun.
"Kak
Ricko, aku boleh minta sesuatu" tiba-tiba Leo memecah lamunanku.
"Er,
iya. Kamu mau apa, ini kalau mau telornya ambil aja. Aku gak suka telor
soalnya" jawabku sambil mengaduk piringku yang dari tadi nyaris tidak
tersentuh.
"Bukan
makanan'. jawabnya sopan.
"Oh,
lalu apa?" tanyaku penasaran.
"Tolong
jangan mengasihaniku." jawabnya dengan ramah.
Aku
terdiam mendengar jawabannya. Entah kekuatan dari mana sehingga aku mampu
membuka mulutku.
"Aku
tidak mengasihanimu. Tapi aku tidak tahu mau bersikap dan bereaksi bagaimana.
Aku kagum padamu yang tegar menghadapi masalahmu. Jujur saja Leo, awalnya aku
bingung juga dengan sikapmu yang kadang-kadang bikin jengkel. Suka telat absen
malam, apalagi kalau aku lagi piket jaga. Di lain pihak kamu anak yang cerdas,
sopan, berani dan kadang nekat. Aku bingung mau menilaimu bagaimana, yang jelas
bagiku, untuk anak kelas 3 SMP kamu cukup dewasa.' ucapku panjang lebar.
Ucapan
itu jujur keluar dari hatiku. Saat ini penilaianku tentang Leo berubah 360
derajat. Apakah karena ayahnya sudah meninggal? mungkin saja, tapi tentu itu
bukan satu-satunya alasan. Toh banyak juga orang lain yang sudah ditinggal
ayahnya.
Tapi
Leo berbeda. Aku tidak bisa membacanya, memahaminya dan mencerna apa yang ada
padanya. Entahlah.
"Rata-rata
anak kelas 3 SMP di sini memang sudah dewasa kak, setidaknya sudah mimpi
basah." celetuk Leo cengengesan.
"Tidak
juga, aku belum sedewasa kamu saat kelas 3 SMP" ucapku datar.
"Siapa
bilang, buktinya kakak sudah pacaran kan saat itu?" jawabnya asal.
Aku
terkejut dengan ucapan Leo. Berani-beraninya dia ngomong begitu. Aku ini
pengurus asramanya.
Aku
menarik nafas panjang, aku tidak tau harus bersikap bagaimana, yang jelas
bagiku anak ini unik. Kadang dia sopan, kadang juga lancang. Kadang dia sangat
taat aturan tapi kadang juga dia melanggarnya tanpa ada rasa bersalah.
"Kamu
sudah selesai makannya? Ayo kita ke asrama! sebentar lagi belajar malam, nanti
kamu dihukum walikelasmu lagi karena terlambat" ucapku tanpa menghiraukan
ucapan Leo tadi.
"Iya
sudah nih, ayo kita pulang" jawabnya singkat.
Kami
berdua berjalan menyusuri halaman luas yang setiap sudutnya berjejer
gedung-gedung asrama. Sebagian di antara asrama-asrama itu adalah tempat tinggalku
tahun-tahun lalu. Di dalamnya ku kubur banyak kenangan, suka dan duka,
sahabat-sahabatku yang telah meninggalkanku di sekolah ini, dan tentu saja
cinta pertama dan pacarku Fikri.
"Kak,
aku langsung ke kamar ya mau ngambil buku" ucap Leo sambil meninggalkanku.
"Iya,
aku juga mau ngambil buku" balasku pelan.
Aku baru saja berjalan beberapa langkah ke kamarku ketika Leo kembali menghampiriku.
"Oh
iya kak, aku boleh tanya?" Ucap Leo dengan pelan.
"Tanya
apa?" jawabku rada malas.
"Menurut
kakak, mungkin nggak pengurus asrama pacaran sama anggota asramanya?".
Aku
tersedak mendengar pertanyaan Leo. Jangankan berusaha menjawabnya, mencernanya
saja sulit. Ini pertanyaan paling konyol yang pernah aku dengar dari anggota
asrama. Seumur hidup aku di sini tidak pernah terbersit menanyakan hal begitu
kepada pengurus asramaku dulu.
"Kok
diam?" Leo memandangku dengan lebih dekat.
"Pertanyaan
aneh. Tapi menurutku sih gak elok, kalau pacaran sama anggota dari asrama yang
berbeda masih bisa diterima." dengan susah payah aku mengeluarkan
kata-kata itu.
"Oh,
begitu." ucap Leo sambil mengangguk-nganggukan kepalanya.
"Kamu
lagi mikirin apa?" tanyaku penasaran.
"Hmmmm,
rencana pindah asrama" jawabnya dengan nada yang meyakinkan.
"Kenapa?"
tanyaku bingung.
Alih-alih
menjawab pertanyaanku, Leo meninggalkanku sambil tersenyum lebar.
Apa
maksud anak itu? Entahlah, mungkin dia menyukai pengurus asramanya, dan itu
bukan urusanku.
BERSAMBUNG
Terimakasih sudah setia menunggu. Akhinya setelah perjalanan panjang Episode 14 kami publikasikan. Episode 14 adalah episode paling pendek dari episode sebelum-sebelumnya. Tapi akan menjadi dasar dari periode kedewasaan Ricko. Selain itu penulis akan mempublikasikan episode-episode selanjutnya tidak terlalu panjang, tapi sebagai gantinya waktu update tidak akan terlalu lama. Doakan penulis tetap sehat dan semangat. Terimakasih, dan selamat membaca.
ReplyDeleteGk kerasa aku baca episode 13 dejak 3 thn yg lalu dan selalu nunggu kelanjutannya bahkan berudaha menghubungi penulisnya karena suka bgt. Eh ternyata sudah update setahun yg lalu. Semangat nulisnya kak.....
ReplyDelete